Kita diajarkan untuk taat pada pemimpin muslim selama ia muslim walaupun ia ahli maksiat, yaitu taat dalam hal shalat Jumat, jihad, dan haji bersamanya.
Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,
وَلاَ نَتْرُكُ حُضُوْرَ الجُمُعَةِ وَ صَلاَةٌ مَعَ بَرِّ هَذِهِ الأُمَّةِ وَفَاجِرِهَا لاَزِمٌ , مَا كَانَ مِنَ البِدْعَةِ بَرِيْئًا فَإِنِ ابْتَدَعَ ضَلاَلاً فَلاَ صَلاَةَ خَلْفَهُ وَالجِهَادُ مَعَ كُلِّ إِمَامٍ عَدْلٍ أَوْجَائِرٍ وَالحَجُّ
Kita tidaklah meninggalkan menghadiri shalat Jumat. Akan tetapi, hendaklah melakukan shalat tersebut bersama pemimpin dari umat Islam yang baik ataupun fajir (banyak berbuat dosa), selama pemimpin tersebut bersih dari kebid’ahan. Jika ia melakukan kebid’ahan yang sesat (yang menyebabkan kekafiran), tidaklah boleh shalat di belakangnya. Jihad dilakukan bersama pemimpin yang adil atau tidak adil, demikian halnya dengan haji.
Taat pemimpin
Imam Al-Muzani rahimahullah berkata, “Kita tidaklah meninggalkan menghadiri shalat Jumat. Akan tetapi, hendaklah melakukan shalat tersebut bersama pemimpin dari umat Islam yang baik ataupun fajir (banyak berbuat dosa).”
Hal ini dalam rangka menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau memerintahkan kita untuk taat kepada pemimpin dan tidak boleh menyelisihi mereka. Prinsip ini bertentangan dengan prinsip agama yang dijalankan oleh kaum Khawarij dan Mu’tazilah. (Tamam Al–Minnah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani, hlm. 141)
Prinsip taat pada pemimpin atau ulil amri ini diajarkan pada ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4] : 59)
Demi menjaga persatuan kaum muslimin
Syaikh ‘Abdur Razzaq hafizhahullah berkata, “Imam Al-Muzani ini menjelaskan bahwa wajib menjaga shalat Jumat bersama jamaah kaum muslimin. Masalah ini dibawakan oleh para ulama dalam kitab akidah untuk menjaga persatuan kaum muslimin dan menjaga jamaah mereka. Kaum muslimin diperintahkan untuk menghadiri shalat Jumat di masjid walaupun imam yang melaksanakan shalat di situ adalah seorang fasik atau punya sebagian kesalahan. Ini semua untuk menjaga persatuan kaum muslimin.” Lihat Ta’liqah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani, hlm. 126.
Jika pemimpin melakukan bid’ah
Yang dimaksud prinsip yang disebutkan oleh Imam Al-Muzani, “selama pemimpin tersebut bersih dari kebid’ahan” adalah kebid’ahan yang sifatnya kekafiran. Kalau bid’ah yang dilakukan adalah bid’ah kekafiran, maka tidak shalat di belakangnya, tetapi di belakang imam lainnya. Lihat Tamam Al–Minnah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani, hlm. 141.
Syaikh ‘Abdur Razzaq menjelaskan bahwa bid’ah yang dilakukan adalah bid’ah yang mengeluarkan dari Islam. Karena siapa saja yang tidak sah shalat sendirian karena kekafirannya, maka tentu tidak sah jika mengimami lainnya. Lihat Ta’liqah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani, hlm. 127.
Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Umar Salim Bazmul berkata bahwa yang dimaksud adalah jika pemimpin melakukan bid’ah mukaffirah (mengkafirkan) dan sudah ditegakkan hujjah (argumen). Sedangkan jika bid’ahnya mukaffirah, tetapi belum ditegakkan hujjah, maka tidaklah disebut “tidak boleh shalat di belakang pemimpin semacam itu”. Imam Ahmad bin Hambal tetap shalat di belakang Al-Ma’mun dan para sahabat tetap shalat di belakang Al-Hajjaj. Lihat Iidhah Syarh As-Sunnah li Al-Muzani, hlm. 116.
Shalat di belakang ahli bid’ah
- Jika shalat di belakang imam ahli bid’ah padahal masih ada imam yang lain yang selamat dari kebid’ahan dan kefasikan, kebanyakan ulama menilai bahwa shalat yang dilakukan makmum itu sah. Inilah pendapat dalam madzhab Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, salah satu pendapat dari Imam Malik dan Imam Ahmad.
- Jika shalat di belakang imam ahli bid’ah dan tidak ada imam yang lain selain dia, maka tetap shalat di belakang ahli bid’ah. Inilah pendapat dari Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hambal, dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah lainnya.
Lihat Iidhah Syarh As-Sunnah li Al-Muzani, hlm. 117.
Jihad dan haji bersama pemimpin
Imam Al-Muzani rahimahullah ingin menjelaskan prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa haji dan jihad dilakukan bersama pemimpin atau penggantinya, baik pemimpin yang baik maupun yang fajir (banyak berbuat dosa). Karena haji dan jihad adalah dua kewajiban terkait dengan safar. Ini adalah prinsip yang menyelisihi prinsip Rafidhah (Syi’ah) di mana mereka memiliki prinsip “tidak ada jihad di jalan Allah sampai ada rida dari keluarga Muhammad (aali Muhammad) dan ada seruan dari langit yang mengatakan ‘ikutilah dia’.” Lihat Tamam Al–Minnah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani, hlm. 142.
Jihad sendiri ada dua macam:
- Jihad daf’u (mempertahankan diri dari musuh).
- Jihad thalab (menyerang musuh), ini jika kaum muslimin memiliki kekuatan. Jihad ini dengan menyerang berbagai negeri. Awalnya dengan berdakwah dahulu. Jika tidak diterima, barulah dilakukan peperangan untuk meninggikan kalimat Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَٰتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ كُلُّهُۥ لِلَّهِ ۚ فَإِنِ ٱنتَهَوْا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal: 39)
Referensi:
- Iidhah Syarh As-Sunnah li Al-Muzani. Cetakan Tahun 1439 H. Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Umar Salim Bazmul. Penerbit Darul Mirats An-Nabawiy.
- Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
- Tamam Al–Minnah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani. Khalid bin Mahmud bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Juhani. www.alukah.net.
- Ta’liqah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani. Syaikh ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr.
—
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal