Spanduk yang dipasang di sejumlah masjid di ibukota Jakarta berisi menolak menyalatkan jenazah pendukung penista agama dan pemilih pemimpin non Muslim menuai kontroversi. Sejumlah pihak memandang sikap itu berlebihan. Di lain sisi, putusan itu dianggap tepat untuk memberi pembelajaran dan peringatakan kepada warga Muslim untuk kembali ke jalan yang benar.
Dalam hal ini, Doktor Syariah Universitas Al-Azahar Kairo, Dr Ahmad Zain An-Najah, menjelaskan bahwa kebijakan sejumlah masjid tersebut tidak salah menurut pandangan fiqih. Hal itu karena hukum salat jenazah Fardlu Kifayah. Artinya, jika sudah disalatkan oleh sebagian masyarakat, kewajiban warga lain gugur.
“Spanduk yang dipasang di masjid-masjid untuk tidak menyalatkan pendukung penista agama dan pemilih pemimpin non Muslim tidak salah dalam pandangan fiqih,” ujarnya saat dihubungi media baru-baru ini.
Ketua Majelis Fatwa Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) ini menunjukkan bahwa spanduk yang dipasang itu tidak melarang keluarga atau warga lain menyalatkan si mayit. Tulisannya hanya mengatakan bahwa pengurus atau masjid tidak menyalatkan jenazah pendukung penista agama dan pemilih pemimpin non Muslim.
Ia pun melanjutkan bahwa spanduk-spanduk itu tidak mengharamkan menyalatkan mayit pendukung penista agama atau pemilih pemimpin kafir. Kata yang digunakan adalah “tidak menyalatkan”, bukan “haram menyalatkan”.
Lebih lanjut, Direktur Pesantren Tinggi Al-Islam Bekasi ini menjelaskan bahwa tidak menyalatkan mayit merupakan hak. Orang yang tidak ikut menyalatkan bukan berarti dia menganggapnya haram.
“Hal itu juga tidak berlaku hanya bagi pendukung penista agama atau pemilih calon pemimpin non Muslim. Jika pemilih pemimpin Muslim diperlakukan demikian pun dalam pandangan fiqih tidak apa-apa. Itu hak warga,” terangnya.
Pengisi tetap di sejumlah masjid dan majelis taklim di ibukota ini pun menyayangkan pernyataan sejumlah tokoh Islam dan politik terkait masalah ini. Pernyataan-pernyataan mereka, tandasnya, seakan menunjukkan mensalati jenazah hukumnya Fardlu Ain, wajib bagi setiap individu.
Tak Semua Pemilih Pemimpin Kafir Munafik
Soal masalah hukum menyalatkan mayit pemilih pemimpin kafir, ayah empat anak ini menerangkan harus ada rincian terlebih dahulu. Apakah yang bersangkutan memilih karena munafik, cinta dunia, takut atasan atau karena tidak paham. Variable-variable ini memiliki konsekuensi hukum masing-masing. Namun sekali lagi, tegasnya, permasalahan menyalati jenazah itu adalah hak masing-masing. Yang tidak dibolehkan adalah berfatwa mengharamkan menyalatkan jenazah mereka.
Ustadz yang juga aktif menulis buku ini menekankan bahwa penjelasan di atas itu baru dalam persfektif fiqih. “Namun hal ini belum dilihat dari pandangan politik dan sosial,” imbuhnya menegaskan.
Dari sisi politik, lanjutnya, dibantah atau tidak, kebijakan pengurus masjid itu pasti bersinggungan dengan politik. Oleh karena itu, banyak pihak menganggap spanduk itu kampanye, provokasi dan intimidasi. Spanduk-spanduk semacam ini dianggap untuk mendukung salah satu calon pasangan gubernur.
Maka, hal itu sangat jelas spanduk tersebut menguntungkan pasangan calon gubernur Muslim dan merugikan pasangan non Muslim. Pastinya, kata Ustadz asal Klaten ini, pihak yang merasa diuntungkan pasti setuju sementara pihak yang merasa dirugikan tidak setuju.
Ed : Muttaqin | kiblat.net