سَلَٰمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى ٱلدَّارِ
(sambil mengucapkan): “Salamun ‘alaikum bima shabartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (QS. Ar Ra’du, 24)
Agak kaget, saat seorang peserta FGD yang diselenggarakan Bawaslu RI mengatakan menjelang Pilpres 2019, “Jangankan bicara soal politik, Kami untuk sekedar mengucapkan salam saja belum ada kesepakatan”. Peserta tersebut memberikan catatan, Umat Islam kalo soal politik sudah melewati dan tuntas membahasnya bahkan telah memilikin pengalaman dengan konsepnya. Sedangkan kami, untuk menyapa dalam pertemuan masih berbeda beda, Islam jelas sapaanya, Assalamu alaikum wrahmatullah wabarokatuh.
Keselamatan dan rahmat, dua ungkapan yang pasti setiap insan merindukannya, walau hanya sekedar ucapan saat bertemu. Mengapa, karena didalamnya terselip doa atas harapan kebahagiaan. Bukan itu saja, didalamnya terkandung optimisme, persaudaraan dan tentu pengakuan bahwa diriku atau dirimu adalah satu bagian dalam kehidupan.
Ya, itupula yang diingatkan oleh Rasul saat datang dan bertemu dengan penduduk Madinah dikala bertemu. “Assalamualiakum warahmatullah wabarakaatuh”, ringan dibibir namun memiliki tarikan kemanusiaan. Salam ini coba menyapa organ tubuh yang paling pokok, yakni perasaan. Keselamatan, sejatinya adalah kondisi kejiwaan yang membuat manusia memeiliki ketenangan, keteraturan dan daya juang menuntaskan perjuangan. Pesan tersebut di ukir dalam warisan Rasul
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ عَوْفٍ عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَوْفَى حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ قَالَ لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ انْجَفَلَ النَّاسُ قِبَلَهُ وَقِيلَ قَدْ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ قَدْ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ ثَلَاثًا فَجِئْتُ فِي النَّاسِ لِأَنْظُرَ فَلَمَّا تَبَيَّنْتُ وَجْهَهُ عَرَفْتُ أَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِوَجْهِ كَذَّابٍ فَكَانَ أَوَّلُ شَيْءٍ سَمِعْتُهُ تَكَلَّمَ بِهِ أَنْ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلَامَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا الْأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abu Syaibah] telah menceritakan kepada kami [Abu Usamah] dari [‘Auf] dari [Zurarah bin Aufa] telah menceritakan kepadaku [Abdullah bin Salam] dia berkata, “Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, maka orang-orang bergegas menyambut kedatangan beliau dengan menyerukan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang! Rasulullah datang! Rasulullah datang! ” hingga tiga kali. Maka aku ikut berjubel di tengah-tengah kerumunan manusia untuk melihat beliau, ketika telah jelas kupandang wajahnya, maka bisa kuketahui bahwa raut muka beliau bukanlah raut muka seorang pendusta. Ucapan pertama kali yang aku dengar dari beliau adalah: “Wahai manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah tali persaudaraan, shalatlah di malam hari ketika manusia terlelap tidur, niscaya kalian masuk surga dengan selamat.” (Ibn Majah)
Saat saat Anda , wahai pendakwah mengawali atau menyapa masyarakat, jadikan salam sebagai media untuk membangun interaksi. Kegunaan salam ini adalah, selain ia adalah bagian dari mengamalkan sunnah Nabi, didalamnya adalah penghilang dari keraguan dan kekawatiran. Didalamnya ada doa keselamatan yang mampu menenangkan gejolak jiwa. Tenangnya jiwa akan memberikan dampak pada kemudahan dakwah kedepan. Sementara jika jiwa bergejolak, akan menimbulkan ketidak stabilan warga sehingga menyulitkan pembinaan.
Dalam Aisarut Tafasir, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi memberikan catatan, “Ucapan selamat ini mengandung hilangnya semua yang tidak diinginkan dan diperolehnya semua yang diinginkan. Oleh karena itu, bagi mereka yang memiliki perhatian dalam untuk kebahagiaan dirinya, maka hendaknya ia berjihad melawan hawa nafsunya agar termasuk mereka yang disebut Allah sebagai orang-orang yang berakal sehingga memperoleh keberuntungan di akhirat”.
Jika salam adalah media dakwah yang aspeknya fisik dan jiwa, ada juga beberapa media dakwah berdasar hadist diatas yang aspeknya fisik. Didalam pesan Rasul tersebut menyimpan pesan menyambung persaudaraan. Pesan ini dalam kontek sekarang barangkali bisa didekatkan dengan kenyataan pentingnya membangun networking, jaringan kerja. Islam mengajarkan ukhuwah, yang didalamnya ada jaringan. Tentu, saat berdakwah soal jaringan akan menjadi pilar media untuk meningkatkan kwalitas dakwah itu sendiri. Pembiayaan, pengiriman buku, mendampingi para senior dakwah dll, adalah soal jaringan.
Aspek fisik yang lainya adalah ikut meringankan warga dengan penyediaan kebutuhan dasar yaitu makanan. Bagi dai yang betada dilapangan, bisa juga menjadikan pesan ini untuk mengajak warga terlibat dalam proses penyediaannya. Diajak mereka mecari lahan pertanian, ikut menyangkul, menanam, panen dan menikmati hasil. “Apakah bisa dai bertani?”, ya dicoba saja.
Jangan lupa, Sholat Malam sebagai sarana laporan dan kontrol atas segala usaha dakwah tadi. Karena boleh jadi apa yang kita rencanakan tidak sesuai, dan perlu merancang ulang atau mungkin perlu penguatan dari sisi aspek yang lain. Cobalah dan mulailah, saat bertemu dengan waraga untuk mengucapkan Salam. Awali dakwah dengan “Assalamu’alaikum warohmatullah wabaarokaatu”, biar warga meraskan sentuhan dan Malaikat ikut menjawabnya. Maaf