قَدِ ٱفْتَرَيْنَا عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا إِنْ عُدْنَا فِى مِلَّتِكُم بَعْدَ إِذْ نَجَّىٰنَا ٱللَّهُ مِنْهَا ۚ وَمَا يَكُونُ لَنَآ أَن نَّعُودَ فِيهَآ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّنَا ۚ وَسِعَ رَبُّنَا كُلَّ شَىْءٍ عِلْمًا ۚ عَلَى ٱللَّهِ تَوَكَّلْنَا ۚ رَبَّنَا ٱفْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِٱلْحَقِّ وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْفَٰتِحِين
Sungguh kami mengada-adakan kebohongan yang benar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan kami dari padanya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki(nya). Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya. (QS. Al-A’raf, 89)
“Ah, gitu aja repot” respon warga binaan saat diajak menunaikan tugas belajar baca Al Quran. “Nanti, biar anak anak yang bacain Qur’an, soalnya udah tua”, sang warga melanjutkan pernyataannya. Dia berfikir, tua adalah alasan untuk tidak belajar, sedang muda adalah suatau masa dimana seseorang memiliki kewajiban untuk belajar.
Padahal, justru saat tualah, sebaiknya masih meneruskan aktifitas pencaraian, khususnya pencarian ilmu yang bermanfaat untuk perjalanan setelah mati. Dengan bertambahnya ilmu, maka seseorang akan semakin mudah dalam menjalankan ketaata. Ilmu juga bermanfaat terkait pengaturan masyarakat sosial. Ilmu menjadi tempat kembali saat ada gesekan dan perbedaan diantara umat.
Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) menjelaskan, “Kemudian Nabi Syuaib menolak dengan tegas, agar mereka tidak mengira dia akan kembali kepada agama mereka. Dia menegaskan: “Jika kami kembali kepada agama mereka maka itu adalah pendustaan terhadap Allah yang telah menyelamatkan kami dengan memberi hidayah kepad agama yang benar dan menjauhkan kami dari kesyirikan; dan tidak boleh bagi kami kembali kepada agama yang batil.” Meskipun dia sangat yakin dengan apa yang dia katakan namun dia tetap menyerahkan perkara itu kepada Allah sebagai adab yang baik kepada-Nya; sehingga dia tidak menegaskan dengan kehendaknya sendiri, namun mengembalikannya kepada kehendak Allah, karena Allah mengetahui apa yang tidak diketahui manusia, yang menjadi rahasia hikmah dan kehendak-Nya, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.
Kemudian Nabi Syuaib menyatakan kelemahannya dalam menghadapi orang-orang yang sombong tersebut dengan berkata bahwa dia bertawakkal kepada Allah dan membutuhkan pertolongan-Nya, dan dia hanya bersandar kepada Allah semata, sehingga dia bermunajat kepada-Nya agar menolong orang yang terzalimi yang berada dalam kebenaran atas orang zalim yang memusuhi kebenaran; Dia adalah sebaik-baik pemberi kemenangan bagi hamba-hamba-Nya, Dia menjelaskan antara yang benar dan yang batil, dan petunjuk dan kesesatan. Dia memberi pertolongan dengan menimpakan azab bagi orang-orang zalim, dan menyelamatkan dan memuliakan orang-orang shalih.
Antara dai dan obyek dakwah, tepatnya antara nilai yang disampaikan oleh juru dakwah dan kondisi yang dianut oleh maayarakat, adakalanya susah untuk bertemu dalam satu titik. Dalam banyak fenomena, malah banyak yang berlawanan. Saat Nabi Ibrahim mengajak warganya untuk menyembah Allah, eeee malah ortunya produsen patung tuhan. Hal jni yang juga dialami oleh Nabi Syuaib.
Saat kaum itu sudah diberikan petunjuk dan diselamatkan dari musibah, berikutnya malah ngajak balik, kembali kepada keyakinan lamanya. Memang, lapangan kadang kala tidak nyambung dan justru melakukan perlawanan. Maklum, setn sudah bersumpah dan bekerja setiap waktu untuk menyesatkan manusia. Mereka menunggun manusia yang sedang lengah. Menunggu yang sedang terkena virus sombong.
Nah, dalam kondisi diametral inilah, dai dituntut untuk melakukan penyelamatan keyakinan dan amal amal sholeh yang telah menjadi bagian hidup seseorang. Sebgaianya bisa menjaga dan menyelamatkan dirinya, sebagiannya lagi malah ikut terbawa arus. Tapi, keputusan itu penting. Ada usaha untuk hijrah, mengingkari dengan berbagai sikap. Adakalanya mengingkari dengan tangan, ucapan dan hati. Karena kondisi diri kadang tidak cukup siap menghadapinya, sambil berusaha terus mewujudkan yang paling ideal.
Pada saat tertentu, suatu masalah ternyata dapat diselesaikan dengan cara mengadu kepada Sang Maha Pencipta Allah swt. Adukan masalah lapangan dakwah, jika usaha dan cara sudah “menthok”, kayaknya tiada jalan keluar, seprti Nabi syu’aib.