وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ٱبْتِغَآءَ رَحْمَةٍ مِّن رَّبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُل لَّهُمْ قَوْلًا مَّيْسُورًا
Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas. (QS. Al-Isra, 28)
Satu saat, seorang guru memanggil muridnya yang baru turun dari mimbar Jumat. Beliau memberikan pesan, “Khutbah secara konten bagus, tapi perlu memilih diksi kata yang tepat”. Pesan tersebut disampaikan bukan di Masjid langsung, tapi setelah rehat beberapa hari kemudian.
Pernah juga ada satu pengalaman di suatu Masjid, seorang Imam yang didesak jamaah u tuk mengimami shalat jama’ah mendapatkan teguran, agar tidak lagi menjadi imam di Masjid. Apa pasalnya? Sang imam tidak membaca wirid yang keras sebagaimana kebiasaan di Masjid tersebut. Sebenarnya sang imam juga sudah minta agar bukan dia yang menjadi imam, karena ia belum lama tinggal didaerah tersebut. Tapi jamaah memintanya, karena alasan imam sholat yang telah dijadwal tidak muncul sampai waktu yang lama. Untungnya, “imam dadakan” tadi tetap menjadi makmum pada kesempatan yang lain dan tidak mau lagi disuruh menjadi imam.
Ia mencukupkan diri menjadi makmum. Ia menyadari dengan ilmunya, bahwa kehadiran dalam sholat jamaah itu lebih penting dibandingkan menjadi imam shalat. Dilapangan, memang tidak sebagaimana saat kondisi di kelas atau tempat menuntut ilmu. Banyak aspek yang harus disiapkan dalam membangun komunikasi dengan berbagai kalangan.
Kejadian shalat dan imam tadi, ternyata, dalam beberapa waktu kedepan malah menjadi faktor yang menstimulus perapian organisasi Masjid. Sejak saat itu, shalat rawatib 5 waktun menjadi semakin tertib dengan penjadwalan imamnya. Apa sebabnya? Karena takut ada “imam lain” yang maju dan dianggap aneh. Makaudnya, aneh dalam kebiasaan. Padahal, dalm agama ini kan tidak ada yang aneh. Karena perbedaan khilafiyah adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Asal pakai dalil, dan tidak emosional.
Jadi, memang lapangan ini kadang sulit dan perlu penanganan yang holistic. Saat ada tantangan, ternàyata hal tersebut malah memunculkan peluang. Larangan menjadi imam adalah tanda tidak setuju, tapi perapian imam sholat adalah peluang perbaikan. Jadi, bagi juru dakwah, tak usah keburu emosi atau ngambek, jika apa yag dilakukan dan didakwahkan mendapat respon yang kurang bersahabat. Adam saja dapat penolakan dari setan. Jadi fokuslah, tenang, pelan dan pastikan langkah kedepan.
Wahyu menyebutkan, kepada orang-orang yang tidak suka kepada perilaku seseorang, perlu disikapi dengan lebih terbuka. Perlu pilihan tindakan yang pantas, karena manusia suka kepada hal-hal yang amat dekat dengan kehidupan sosialnya. Memang yang ‘agak ribet’ jika tiindakan tersebut menyangkut hal hal agama yang sudah pasti. Ini, yang paling sulit disikapi. Respon tegas, memunculkan penolakan, didiamkan akan terus berulang kesalahan.
Mungkin, menyisir dari pinggir, mengobati dari hal sepele, menyikapi dengan pendekatan tidak langsung menjadi strategi penanganan. Perli assisment yang terhubung, pemetaan yang komplit. Dalam diskursus sosial perlu difusi inovasi. Ada suatu pemahaman dari pelaku dakwah, kadang ketidak cocokan atau penolakan warga, sejatinya tidak hanya berasal dari satu aspek. Banyak variabel yang biasanya mengikuti. Mungkin sang dai dianggap masih muda, pendatang, tidak memiliki status sosial dan lain lain. Kadang, malah ada sebagian warga yang merasa malu jika berubah, padahal mereka memiliki keinginan.
Tapi, sejatinya proses perubahan itu nyata terjadi dilapangan. Gelombang informasi telah banyak membantu mentrasnformasi bahan-bahan yang diperlukan dalam proses pembukaan sesuatu yang tabu. Yang penting, aspek pokok tetap ada, misalnya dalam hal akidah. Persatuan menjadi media pertumbuhan benih-benih penerimaan. Jangan tinggalkan masyarakat, walaupun warga dirasakan kurang menerima keberadaaan kita. Pindahkan posisi ke sesuatu yang bisa diobrolkan, jika satu aspek ternyata membuat warga sensitif. Jangan memaksakan satu tema tertentu, sementara meraka belum siap.