Nasihat Untuk Kader Dakwah
Oleh : Ustadz Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, LC
Ada tiga hal, kata Imam Ibnul Qayim, agar mudah menerima nasihat:
1. Merasa butuh nasehat. Hanya orang sombong yang merasa tidak butuh nasihat.
2. Tidak Melihat kekurangan pemberi nasihat.
3. Hadirkan tentang janji dan peringatan Allah.
Nasihat adalah inti agama. Ada dua hal yang ingin saya nasihatkan pada kesempatan ini kepada antum semua, uhibbukum fillah.
Pertama: Mari kita jaga amal-amal kebaikan yang selama ini sudah kita lakukan agar tidak batal dan sirna. Karena setan selalu berusaha merusak amal-amal kita dengan merusak keikhlasan kita.
Keikhlasan bisa rusak setelah bertahun-tahun kita melakukan amal-amal kita, karena kita mengungkit-ungkit kebaikan yang pernah kita lakukan kepada seseorang atau jamaah dakwah ini.
Misalnya kita membiayai anak sampai sukses. Tapi dia tak tahu diri, tak tahu terima kasih. Lalu kita ungkit-ungkit kebaikan kita kepadanya dan kita menyakitinya, sehingga hal ini merusak pahala amal kita.
Kemudian kita jaga amal-amal kita dengan menjauhi akhlak yang buruk, terutama perangai suka mencela dan menuduh orang saleh. Karena akhlak yang buruk menjadi predator paling ganas dalam menghancurkan pahala kebaikan-kebaikan kita.
Nabi SAW mengingatkan orang yang bangkrut di akhirat karena suka mencela dan menuduh. Bisa jadi pahala kita habis tak bersisa. Karena itu, jangan mudah ikut-ikutan mencela orang apalagi menuduh qiyadah dakwah dan menebar tuduhan yang tidak jelas kebenarannya, karena orang yang menuduh harus bisa menghadirkan bukti.
Bila kita ikut-ikutan menebar kebohongan maka kita ikut mendapat dosanya. Setelah Allah menurunkan ayat yang menyatakan Aisyah RA bebas dari segala tuduhan, maka Nabi SAW menghukum cambuk sebagian sahabat yang ikut menebar berita bohong (hoaks).
Maka saya nasihatkan
Jika ada di antara kita pernah terlibat menuduh dan mencela Qiyadah dakwah silakan minta maaflah dengan cara yang kita bisa, agar kita bisa menjaga amal baik kita. Jagalah nasihat ini agar kita tidak menjadi orang yang bangkrut di akhirat.
Kedua, mari kita mewaspadai penyimpangan-penyimpangan dalam dakwah ini. Karena sudah ada sebagian saudara kita yang melakukan penyimpangan, baik terkait akhlak, aqidah ataupun fikrah.
Biasanya penyimpangan ini dimulai dari hal- hal kecil dan rusaknya akhlak, lalu seiring waktu makin meningkat dan besar jika tidak segera tobat.
Penyimpangan sekecil apapun harus dihindari karena akan membuka pintu gerbang fitnah bagi kita. Terkait penyimpangan fikrah, pada kesempattan ini saya ingin menyampaikan peringatan yang pernah ditulis oleh Syekh Mustafa Masyhur dalam bukunya, “Prinsip dan Penyimpangan Gerakan Islam” sekitar 50 tahun lalu.
Beliau mengingatkan, penyimpangan yang sangat berbahya adalah penyimpangan tujuan karena bisa merusak amal. Penyimpangan ini bisa terjadi sejak awal atau di tengah perjalanan.
Dalam surah Al-Hajj: 52-53, Allah menjelaskan bahwa setan selalu menggoda keinginan-keinginan manusia. Jika di dalam hati seseorang ada penyakit maka setan berhasil menggoda keinginan itu dan menjadikannya sebagai fitnah dalam kehidupannya. Karena itu, kita harus berhati-hati dengan keinginan-keinginan kita, apalagi keinginan yang tidak baik dan ambisi duniawi.
Setan sangat sabar menunggu datangnya momentum untuk menjerumuskan seseorang ke dalam pusaran fitnah melalui keinginan-keinginan yang telah tertanam di dalam fikirannya. Setan itu masuk menunggu momentum. Ibarat suket teki, sudah dibabat dan kering bertahun-tahun pas ada hujan tumbuhlah lagi.
Ada yang tidak dicalonkan lagi, keluar dari partai. Ada yang tidak dicalonkan lagi dalam plikada lalu keluar dari partai. Mungkin niat pertamanya dulu masuk partai untuk mencari jabatan semata. Atau niat awalnya baik lalu muncul niat lain di tengah perjalanan.
Semua itu mungkin terjadi sehingga kita harus selalu waspada terhadap hasutan setan melalui keibginan-keinginan dan ambisi-ambisi kita. Karena itu, bapak ibu jangan menanamkan cita-cita yang tidak baik pada anak.
Setelah merasakan kehidupan “di luar” banyak ikhwah yang kembali lagi, tapi ada juga yang tidak, karena untuk kembali lagi memerlukan jiwa besar. Lebih baik kita mengambil pelajaran dari orang lain daripada kita dijadikan pelajaran oleh orang lain.
Penyimpangan yang lain bisa muncul dalam bentuk sebagian kader yang memiliki kemampuan merekrut dan membangun jaringan lalu tidak
menggabungkan para mutarabbinya ke dalam jamaah, dikelola sendiri sehingga seperti ada jamaah dalam jamaah.
Nasyider saja kalo banyak fans, langsung meniti karir sendiri. Jika fenomena ini terjadi akan menimbulkan perpecahan. Apalagi jika pendapat murabbi berbeda dengan jamaah. Akhirnya muncul wala’ syakhsi.
Sehingga menyebabkan kebingungan di kalangan kader lalu muncul ta’adudul wala’. Akibatnya kader bingung dan terpaksa suka berbohong. Akibat buruknya terjadi split personality. Ini semua tidak baik dan penyimpangan yang harus dihindari.
Penyimpangan lain yang diingatkan Syaikh Mustafa Masyhur berkaitan dengan kehidupan berjamaah. Yaitu meremehkan masalah berjamaah. Kita kan bagian dari kaum Muslimin. “Berarti boleh keluar dari jamaah ini?”Apalagi di kalangan sahabat saja terjadi perpecahan.
Ini namanya salah dalam mengambil pelajaran. Berjamaah dan bersatu adalah bagian dari yang diperintahkan Allah dan Rasulullah SAW. Terjadinya perpecahan di kalangan sahabat bukan dalil yang bisa dijadikan alasan untuk berpecah.
Saya jadi teringat kisah dua orang tokoh sufi, Ibrahim bin Adham dan Syaqiq al-Balkhi. Syaqiq al-Balkhi berpamitan kepada Ibrahim bin Adham untuk melakukan perjalanan bisnis selama sebulan tetapi baru dua hari perjalanan sudah kembali lagi. Ibrahim bin Adham bertanya kenapa? Lalu dijawab, karena di sebuah tempat ia melihat seekor burung buta dan patah sayapnya tetapi masih bisa hidup karena disuapi oleh burung lain.
“Kalo burung yang lemah ini saja masih bisa hidup karena kekuasaan Allah, buat apa saya harus bersusah payah melakukan perjalanan bisnis?”. Lalu Ibrahim bin Adham menasihatinya: “Kamu salah nengambil pelajaran. Kenapa kamu memilih menjadi burung yang buta dan patah sayapnya? Kenapa tidak memilih menjadi burung yang menyuapi dan membantu itu.” Setelah sadar, Syaqiq al-Balkhi pun melanjutkan perjalanannnya lagi. Ikhwah fillah! Jangan sampai antum salah mengambil pelajaran dalam masalah ini.
Sekalipun demikian, kalau ada yang mau keluar dan berpisah silahkan.
Kalau kita ini mudah keluarnya tapi sulit masuknya. Tapi keluar dan berpisahlah dengan cara yang baik sebagaimana dulu masuk dengan cara yang baik. Jangan ada dendam dan mengumbar aib, nanti kita banyak dosa. Kita berjamaah supaya bisa masuk surga, bukan untuk mencari dosa.
Dalam masalah perceraian, Allah mengajarkan agar bila terjadi perceraian harus dilakukan dengan cara yang baik, tidak saling mengumbar aib, saling dendam dan saling menyakiti, tetapi tetap menjaga etika Islam. Bahkan ada istilah yang sangat bagus dari Dr. Suwaidan. Beliau menyebutnya dengan istilah “thalaq najih”, perceraian yang sukses. Karena percerairan bukan akhir segalanya. Demikian pula hendaknya kita bersikap dalam berjamaah.
Ikhwah fillah, simpanlah nasihat ini di dalam ingatan antum, insya Allah sangat bermanfaat di suatu saat..
Ukhibbukum fillah.