الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Permisalan seorang mukmin dengan mukmin yang lain itu seperti bangunan yang menguatkan satu sama lain.” (HR. Bukhari no. 6026 dan Muslim no. 2585)
Dalam bincang “sersan” (serius tapi santai) ba’da acara walimah keluarga aktivis dakwah, tercetus saling mengingatkan bahwa dakwah ini dilakukan, dan harus dijaga hanya karena Allah. Bukan karena lembaga dimana kita bernaung, atau karena posisi dan jabatan dimana kita sedang berkhitmah dalam dakwah. Obrolan itu mengalir sampai membentuk halaqoh memutar dengan memindah kursi kundangan yang memang mulai sepi, maklum akad nikah kala pandemi. Diiringi angin sungai bantar yang “semliwir’ mengalir ke pantai selatan lewat terowongan.
Sang tokoh dakwah tersebut mengingatkan bahwa ini tidak boleh hanya difahami dan berkutat pada pendekatan “mekanik” saja. Tapi juga harus didekati dengan uslub “organik”. Sang mentor, yang kebetulan punya hajat tadi, merasakan mulai menguatnya arah dakwah dengan mendasarkan pada dakwah yang mekanik. Strukturalisasi organisasi yang ketat, sehingga jika tidak hati-hati akan menghilangkan ruh dakah itu sendiri yang konsepnya adalah organik.
Mekanik dalam artian taat azas, tunduk pada aturan dan organisasi. Dalam sistem manajemen organisasi memang akan memberikan dampak pada kedisplinan dan keteraturan. Makanik memang mengacu pada sistem kerja mesin, yang sudah diplot dari awal. Terasa kaku dan boleh jadi membosankan, karena manusia akan tersiksa dengan karyanya sendiri. Mekanika dalam revolusi industri sejatinya adalah kerangkeng manusia yang fitrah, ia membatasi gerak dan laju manusia. Dari filosofi mekanik inilah, lahir kelas sosial pekerja dan karyawan.
Dalam hal materi memang akan terpenuhi hajat hidup, tapi hajat bahagia akan sulit diwujudkan. Karena kebahagiaan adalah soal rasa, sementara rasa adalah fitrahnya hati dan ruh. Banyak aktivis dakwah yang menghabiskan usianya disebuah lembaga dengan hanya terlibat dalam urusan struktural yang mekanik tadi, muncul rasa bosan. Mereka tak ingin, sebagaimana karyawan memasuki masa pensiun. Katanya, “masak dakwah perlu pensiun?”, dakwah adalah kerja sosial tanpa batas umur, sampai mati. Semoga kita diberikan kemampuan.
Dalam diskusi tadi, disinggunglah istilah oragnik dalam keterlibatan dakwah. Artinya, keterlibatan masing-masing kita dalam dakwah ini sejatinya tidak hanya didivinisikan hanya karena kita menjadi salah satu pengurus lembaga dakwah. Status kita menjadi dai justru pada seberapa besar dan intens kita mengambil tanggung-jawab dakwah. Sahabat Khalid bin Walid jenderal perang yang hebat tidak pernah absen mengikuti peperangan, hanya karena pernah di “pecat” dari posisi kunci panglima perang oleh Khalifah Umar ra. Katanya, “Aku berperang bukan karena Umar”.
Kisah ini menggambarkan satu semangat bahwa keterlibatan seseorang dalam dakwah sejatinya adalah dalam posisi organik. Ia adalah bagian dari sekian tenaga dakwah, atau yang ada dalam “arkanu dakwah”. Posisi bisa berubah kapan saja, adaklanya menjadi juru dakwah, adakanya hanya sebatas menjadi media dakwah, bahkan dalam kondisi tertentu malah menjadi obyek dakwah. Pernah menasehati orang lain (juru dakwah), dan sering mendengar nasehat orang lain (obyek dakwah).
Rasulullah pernah menegaskan bagaimana antara anggota badan saling memberikan manfaat, menstimulus, merespon, tau diri dan ssbagainya. Gambaran tentang mekanisme organik dalam sistem tubuh,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586)
“Ngeh” satu istilah daerah, untuk menggambarkan bagaimana seseorang harus memposisikan dirinya. Ukuran keterlibatanya adalah seberapa besar dan berguna dalam memanfaatkan kedai-anya terlibat habis dalam dakah. Memang ada hal-hal mekanik yang harus disepakati menjadi acuan, tetapi memberikan porsi terhadap aspek oraganik akan memberikan dampak kepada optimisme para pelaku dakwah. Beban mekanik harus disesuaikan, sementara uslub organik harus terus dipupuk dengan baik dan dihargai.
Masing-masing Muslim dan Mukmin adalah organik dakwah. Posisi, jabatan bisa berubah setiap saat. Yang tak berubah adalah tanggung-jawab dakwahn-nya. Ia melekat dimanapun berada, saat di mimbar Masjid, ataupun mimbar pernikahan. Soal jadi pembina, pengawas dan pengurus lembaga dakwah itu tidaklah terlalu penting, suatu hal yang mekanik. Tetapi melibatkan dakwah, sepenuh hati dalam masyarakat adalah wujud kesadaran puncak organisme dakwah.
Intinya masih masih bisa ikut dan tidak dilarang perang, bukan soal menjadi komandan atau prajurit. Begitulah Khalid bin Walid mengajarkan akhlak seorang dai sejati. Orang kampung-ku bilang dengan istilah “manajemen ngeh”.
Bandung-22/3/21
DaiKampungKota