Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘asy-syahadah’ sedikitnya mengandung tiga makna, yaitu:
Pertama, kata asy-syahadah dengan makna al-i’lan / al-iqrar (pernyataan), diantaranya disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran, 3 : 18,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dengan makna seperti ini, maka seseorang yang mengucapkan syahadat, berarti ia telah menyatakan bahwa tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah.
Kedua, kata asy-syahadah dengan makna al-qasamu/al-halfu (sumpah), seperti disebutkan dalam firman Allah Ta’ala surat An-Nur ayat 6,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلاَّ أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”
Dengan makna seperti ini, maka seseorang yang mengucapkan syahadat, berarti ia telah bersumpah, bahwa tiada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Ketiga, kata asy-syahadah dengan makna al-‘ahdu/al-wa’du/al-mitsaq (perjanjian). Seperti disebutkan dalam firman Allah Ta’ala surat Al-A’raf ayat 172,
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)’”
Kalimat “wa asyhadahum” pada ayat di atas artinya adalah “mengambil kesaksian dari mereka” atau “mengambil perjanjian dari mereka”. Maka, seorang yang mengucapkan syahadat, berarti ia telah berjanji kepada Allah Ta’ala untuk mentauhidkan-Nya (tiada tuhan selain Allah), demikian juga berjanji untuk mengakui dan mengikuti nabi Muhammad sebagai utusan Allah.
Jadi, asy-syahadah maknanya adalah pernyataan, sumpah, dan janji keimanan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
*****
Di dalam ajaran Islam, awal kesempurnaan atau sahnya al-iman (keimanan) adalah dengan iqrarun bil lisan (ikrar dengan lisan), tashdiqun bil qalbi (membenarkannya di dalam hati) dan ‘amalun bil arkan (mengamalkannya dengan anggota tubuh).
Berkenaan dengan hal ini, Al-Hasan al-Bashri berkata,
لَيْسَ الْإِيْمَانُ بِالتَّحَلِّي وَلَا باِلتَّمَنِّي وَلَكِنْ مَا وَقَرَ فِي الْقَلْبِ وَصَدَّقَتْهُ الْأَعْمَالُ
“Sesungguhnya iman bukanlah angan-angan atau pengakuan semata, namun iman adalah keyakinan yang tertancap dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.” (Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman [1/80])
Oleh karena itu, setiap muslim harus memiliki kesadaran bahwa syahadat ini adalah sebuah pernyataan, sumpah, dan janji keimanan kepada Allah Ta’ala. Maka sesuai dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, setelah menyatakan diri beriman kepada Allah Ta’ala, setiap kita harus berupaya untuk beristiqamah dalam keimanan itu.
عَنْ أَبِي عَمْرو، وَقِيْلَ : أَبِي عَمْرَةَ سُفْيَانُ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِي فِي اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَداً غَيْرَكَ . قَالَ : قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
Dari Abu Amr, -ada juga yang mengatakan- Abu ‘Amrah, Suufyan bin Abdillah Ats-Tsaqafi radhiallahu anhu dia berkata, saya berkata, “Wahai Rasulullah katakan kepada saya tentang Islam sebuah perkataan yang tidak saya tanyakan kepada seorangpun selainmu”. Beliau bersabda, “Katakanlah, saya beriman kepada Allah, kemudian beristiqomah-lah”. (HR. Muslim)
Seorang mu’min yang istiqamah dalam keimanannya akan memperoleh kekuatan dari Allah Ta’ala; yakni tertanam di dalam jiwanya: asy-syaja’ah (keberanian), al-ithmi’nan (ketenangan), dan at-tafa-ul (optimisme).
Hal ini telah difirmankan oleh Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu’”. (QS. Al-Fushilat, 41: 30)
Kepada orang yang beriman dan berpendirian teguh dengan tidak mempersekutukan-Nya, Allah menurunkan malaikat yang menyampaikan kabar menggembirakan, memberikan segala yang bermanfaat, menolak kemudaratan, dan menghilangkan duka cita yang mungkin ada padanya dalam seluruh urusan duniawi maupun ukhrawi. Dengan demikian, dadanya menjadi lapang dan tenteram, tidak ada kekhawatiran pada diri mereka.[1]
Waki’ dan Ibnu Zaid berpendapat bahwa para malaikat memberikan berita gembira kepada orang-orang yang beriman pada tiga keadaan yaitu: ketika mati, di dalam kubur, dan di waktu kebangkitan.
Kepada orang-orang yang beriman itu para malaikat mengatakan agar mereka tidak usah khawatir menghadapi hari kebangkitan dan hari perhitungan nanti. Mereka juga tidak usah bersedih hati terhadap urusan dunia yang luput dari mereka seperti yang berhubungan dengan keluarga, anak, harta, dan sebagainya.
Maka orang-orang yang bersyahadat dengan benar, akan memperoleh as-sa’adah (kebahagian), di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam.
CATATAN KAKI:
[1] Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Jilid VIII, hal. 617