Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Namanya Reisya Callista. Ia masih mahasiswi semester pertama di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir, kelas khusus Jurnalistik dan Pemikiran Islam. Ia juga alumnus At-Taqwa College Pesantren At-Taqwa Depok (ATCO).
Pada 16 November 2022, bersama sejumlah santri At-Taqwa College Depok, Reisya mempresentasikan makalahnya dalam satu seminar pendidikan di sebuah lembaga pendidikan Pasca Sarjana (S2 dan S3), bernama: Raja Zarith Sofiah Center for Advanced Studies on Islam Science and Civilization – Universiti Teknologi Malaysia (RZS CASIS-UTM).
Reisya menyampaikan makalah berjudul: “Kebebasan dalam Perspektif Syed Muhammad Naquib Al-Attas.” Reisya memang mahasiswa STID Mohammad Natsir, yang juga alumnus At-Taqwa College Pesantren At-Taqwa Depok. Forum seminar itu terbilang sangat serius, dihadiri sekitar 150 orang. Kebanyakan warga Malaysia. Ada juga sejumlah mahasiswa pasca sarjana asal Indonesia.
Tema seminar itu ialah: Konsep Pendidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Pelaksanaannya di Alam Melayu. Sebelum Reisya, sudah tampil beberapa pembicara, yaitu: (1). Prof. Madya Dr. Khalif Muammar A. Harris (Direktur RZS-CASIS, UTM), (2) Dr. Nirwan Syafrin (Direktur Eksekutif At-Taqwa College Pesantren At-Taqwa Depok), (3) Dr. Asmaa Mohd Arshad (Academy of Contemporary Islamic Studies, UiTM), (4) Hamzah Masleh MA (Alumnus RZS-CASIS-UTM), (5) Hasanul Ariffin MA (Singapura, alumnus RZS-CASIS), (6) Dr. Muhammad Ardiansyah (Mudir Pesantren At-Taqwa Depok Indonesia).
Pembicara selanjutnya diisi oleh santri dari ATCO. Reisya pembicara pertama, sebagai alumnus ATCO. Sebagai peserta dan juga salah satu pembicara dalam seminar itu, saya menilai forum seminar itu cukup “angker”, bagi mahasiswa semester pertama seperti Reisya dan juga bagi para santri At-Taqwa College yang rata-rata masih berusia 17-18 tahun.
Tapi, alhamdulillah, Reisya dan dua temannya mampu menyampaikan paparannya dengan tenang dan lancar serta berkualitas ilmiah tinggi. Berbagai referensi ia rujuk dengan baik. Diuraikannya konsep kebebasan dalam perspektif Barat liberal dan Islam, khususnya yang dikonseptualkan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Reisya Callista termasuk lulusan SMA yang mengambil jalan berbeda dengan kebanyakan temannya. Setamat SMA, ia memilih jalan pendidikan yang unik. Dengan sokongan orang tuanya, ia memilih mendalami pemikiran dan peradaban Islam di At-Taqwa College Pesantren At-Taqwa Depok. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke STID Mohammad Natsir kelas Jurnalistik dan Pemikiran Islam, angkatan kedua. (Tentang kelas Jurnalistik dan Pemikiran Islam, lihat: https://mediadakwah.id/terobosan-baru-kampus-dakwah-pembukaan-kelas-jurnalistik-dan-pemikiran-islam/).
Menyimak presentasi makalah Reisya dan dua santri ATCO, sejumlah peserta seminar menyampaikan apresiasinya. Bahkan, ada yang terpikir mengirimkan anaknya untuk belajar di Pesantren At-Taqwa Depok. Yang mereka saksikan adalah hal yang unik dalam praktik pendidikan pada umumnya. Bahwa, anak-anak di usia belia sudah mengkaji dan membuat karya ilmiah tentang tema-tema penting dalam bidang pemikiran dan peradaban Islam. “Pembentangan santri-santri ATCO memang luar biasa,” tulis Prof. Madya Khalif Muammar, dalam satu catatan WA-nya.
*****
Topik “kebebasan” yang diangkat oleh Reisya adalah hal yang sangat mendasar dalam kehidupan seorang muslim di zaman modern ini. Dalam paparannya, ia menulis, bahwa kebebasan saat ini telah menjadi inti dari peradaban modern. Hal ini tercermin dari banyaknya fenomena yg terjadi — yang jika kita telusuri – sering mengatasnamakan “kebebasan”.
Contohnya, kasus legalisasi pernikahan sesama jenis di Swiss awal Januari 2022 lalu. Bagi mereka, setiap orang bebas untuk mencintai siapa pun, sekalipun masih berada dalam satu jenis gender yang sama. Beberapa tahun sebelumnya, pada Pidato Kebudayaan tahun 2007, seorang tokoh dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyatakan bahwa seni tubuh memerlukan kebebasan. Misalnya, tarian erotis atau tari tanpa busana, bukan disebut pornografi. Sebab, itu bagian dari kebebasan yang mutlak dalam seni.
“Untuk menyikapi persoalan ini, penting bagi kita untuk mengetahui kebebasan dalam pandangan cedekiawan Muslim kontemporer, Syed Muhammad Naquib al-Attas yang pandangannya tajam dalam menyikapi isu pemikiran kontemporer,” papar Reisya.
Disinilah perlunya memahami pandangan kebebasan yang berkiblat ke Barat, yang marak dianut saat ini. Kebebasan oleh mereka dimaknai sebagai bebasnya manusia melakukan apapun sesuai kehendaknya. Pandangan tersebut lahir sebagai dampak trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka yang mengekang kebebasan manusia secara berlebihan.
Berbeda dengan pandangan kebebasan versi Barat tersebut, Prof. al-Attas memandang, bahwa kebebasan adalah memilih pilihan yang baik sesuai dengan fitrah manusia. Konsep ini direpresentasikan oleh kata “ikhtiyar” sebagai terminologi yang dipilihnya. Jika ditinjau dari ranah semantiknya, ikhtiyar berasal dari kata khara-yakhiru yang artinya baik. Maka, jelas ini menegaskan bahwa pilihan yang diambil dalam ikhtiyar harus pilihan yang baik.
Berbeda dengan istilah “hurriyyah” dan “istiqlal” yang juga dimaknai sebagai kebebasan dalam Bahasa Arab, ikhtiyar tidak sekadar menunjukkan kondisi “bebas dari”. Sebab sesuai dengan maknanya, ikhtiyar menunjukkan adanya usaha untuk memilih. Di sisi lain, ikhtiyar juga merupakan sebuah kondisi. Sebab, dengan memilih pilihan yang baik, ini menjadi tanda bahwa manusia telah bebas dari kekangan hawa nafsu.
Sesuai dengan konsep jiwa menurut Prof. al-Attas, dalam kondisi ini jiwa hewani manusia yang cenderung mendekatkan dirinya kepada hawa nafsu, telah tunduk kepada jiwa rasional (rational soul). Kebalikan dari jiwa hewani, jiwa rasional mengarahkan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Untuk mencapai ikhtiyar tersebut, kita memerlukan ilmu. Yakni, ilmu tentang apa yang baik dan buruk sesuai dengan ajaran Islam. Dengan ilmu yang benar tersebut, seseorang tentu akan memilih yang baik untuk dirinya. Ini menandakan bahwa ia telah beradab.
Konsep ikhtiyar selaras dengan tujuan kebebasan yang telah dituturkan Prof. Naquib al-Attas dalam bukunya: “Islam Faham Agama dan Asas Akhlak.” Menurut Prof. al-Attas, tujuan dari kebebasan haruslah mengembalikan manusia kepada fitrah atau kondisi ketika ia berada di alam mitsaq. Dalam kondisi tersebut, manusia berada dalam kondisi spiritual terbaiknya. Sebab, ia berada di posisi yang dekat dengan Rabb-Nya. Jadi, definisi “kebebasan” yang tepat adalah bahwa kebebasan adalah “bebasnya manusia dari kekangan hawa nafsu yang menghalanginya untuk merealisasikan penghambaan yang utuh kepada Allah.”
*****
Untuk menjalani pendidikan yang benar diperlukan ilmu, niat, dan adab yang benar. Di era dominasi sekularisme-materialisme dalam kehidupan, tantangan terberat ada di level Pendidikan Tinggi. Menjadi orang baik, orang yang merdeka dan berguna bagi sesama adalah niat serta tujuan utama yang harus ditetapkan dalam pendidikan. Inilah proses pendidikan yang paling susah dilakukan. Karena itu, jangan dianggap sambilan! Untuk menjadi orang baik, perlu adab dan ilmu yang memadai.
Kepada Reisya dan para santri lainnya, kita sampaikan pesan: “Jangan takut tidak makan, selama mencari ilmu dengan niat ikhlas dan bersungguh-sungguh, dengan tujuan untuk berjuang di jalan Allah. Sebab, Allah sudah menjamin kehidupan para pejuang di jalan-Nya (QS Muhamamd: 7)!” Wallahu A’lam bish-shawab.