Jalan menuju Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Way Huwi 7 tahun yang lalu belum seramai ini. Masih banyak kebun-kebun dan belukar. Tak banyak rumah yang tampak. Kini, semakin ramai rumah kos dan kios-kios tempat berjualan makanan dan kebutuhan sehari-hari.
Sudah 7 tahun lebih, Muslimat Dewan Da’wah Lampung pulang pergi menuju lapas melalui jalan ini. Walaupun sudah ramai, jalan utama di depan 3 bangunan lapas masih bagaikan kolam lele di saat musim hujan. Kalaupun hari panas, harus pandai-pandai memilih jalan yang tak berlubang.
Dua bangunan besar yang bentuknya tak biasa sudah kami lewati, yaitu 2 bangunan lapas yang diperuntukkan bagi napi laki-laki. Lebih mirip bentuk persegi panjang dengan tembok tinggi berkawat duri yang mengitarinya.
Kini kami memasuki bangunan ketiga, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Bandar Lampung. Walaupun berlokasi di Desa/Kelurahan Way Huwi (Lampung Selatan), namun lapas ini secara administratif menginduk kepada Bandar Lampung.
Di depan drop zone, berdiri tegar pintu besi dengan jendela berterali besi seukuran 2 wajah. Jendela tak berkaca itu selalu tertutup plat besi.
Kami hanya perlu menginjakkan kaki di atas bel yang terletak di sebelah pintu besi itu agar petugas dari dalam membukakan pintu bergambar logo khas yang bertuliskan ‘pemasyarakatan’ tersebut. Sebelumnya, petugas akan sedikit membuka jendela berterali besi setinggi wajah orang dewasa untuk melihat tamu yang datang.
Setelah mengukur suhu dan menyemprotkan handsanitizer ke tangan kami, petugas mempersilakan mengisi buku tamu. Setelah itu, mengajak kami ke ruang dalam untuk pemeriksaan fisik dan barang-barang yang dibawa.
Alat komunikasi dititipkan di loker ruang penitipan. Kami hanya membawa barang yang diperlukan untuk melakukan pembinaan. Biasanya minimal kami membawa Alquran.
Setelah melewati pintu besi kedua, kami disuguhkan pemandangan halaman terbuka yang diberi dekorasi dinding yang memancurkan air dan banyak rak-rak bunga hias di bagian kanan halaman itu. Tak terasa kalau kita sedang berada di sebuah tempat terisolasi.
Kadang di halaman ini kami bertemu dengan binaan yang sedang bimker (bimbingan kerja). Kadang mereka sedang mengurus tanaman hias, belajar bahasa Inggris, atau bimker lainnya. Tak semua napi yang sedang bimker berada di area ini, karena lokasi bimker sudah dibagi-bagi di bagian dalam. Ada bimker berkebun, memasak, membuat kue, menjahit, membuat tapis, dan berbagai aktivitas yang diharapkan bisa menjadi bekal bagi para napi saat mereka keluar nanti.
Selanjutnya kami temui pintu besi ketiga yang lebih menyerupai pagar. Setiap pintu besi selalu ada petugas jaganya. Petugas/sipir laki-laki tak diperkenankan masuk ke area ini, kecuali waktu sholat. Karena memang masjid berlokasi di area ini.
Di area ini, kadang terdengar senandung pujian dari napi Kristiani yang sedang berdoa di dalam ruang pembinaan ruhani Kristen. Kadang terdengar juga suara bersahut-sahutan di tengah lapang, saat seluruh napi harus keluar dari kamar masing-masing untuk melakukan bimker ataupun pembinaan.
*
Saat itu, pukul setengah 10 pagi. Setiap Kamis, Muslimat Dewan Da’wah Lampung bergantian memberikan pembinaan. Inilah fungsi Dewan Da’wah, di antaranya adalah sebagai pengawal aqidah dan penegak syariat bagi umat Islam.
Kamis ini giliranku yang bertugas memberikan pembinaan. Tampak serombongan binaan tengah berbaris di lapangan dan berhitung satu persatu. Setiap keluar masuk dari blok kamar-kamar, mereka harus berhitung, agar jumlah mereka bisa dipastikan.
Ini adalah jadwal pembinaan rutin bimbingan ruhani Islam untuk mereka. Bertempat di Masjid Al Ikhlas yang berada di zone lapis ketiga bagian dalam lapas ini. Tak terasa bagai dalam suatu lapas, karena selalu tampak suasana bersahabat di sini. Kalaupun ada keributan kecil di antara mereka, itu sesuatu yang wajar dan segera ditangani oleh para petugas jaga.
Saat aku memasuki masjid, sudah ada berapa orang yang duduk rapi dengan Alquran di tangan. Mereka adalah napi dari blok santri yang memang kegiatan sehari-harinya hanya di masjid.
Biasanya, setiap pembinaan dihadirkan sekitar 70 napi dari beberapa blok. Ada juga napi yang tetap memilih bimker pada hari itu atau ada kunjungan dari keluarga atau ada briefing dari kalapas untuk beberapa orang tertentu.
Pembinaan berlangsung hingga sekitar pukul 11 siang. Biasanya setelah itu selalu ada binaan yang mendekati kami untuk curhat masalah mereka. Kadang bergantian atau sekaligus beberapa orang.
Walaupun kami menerima curhatan mereka, namun tetap kami tak boleh memberikan nomor telpon yang bisa mereka hubungi. “Kalau ibu nanti sudah keluar, ibu bisa tanyakan nomor Hp kami ke petugas di sini”, paling info itu saja yang bisa kami berikan ke mereka. Selanjutnya mereka akan kami arahkan untuk hadir ke Dewan Da’wah Lampung untuk pembinaan selanjutnya, jika mereka butuhkan.
Seperti siang ini…. “Mantan suami saya yang waktu itu ngajak saya untuk jadi pengedar. Saat ditangkep waktu itu, saya lagi di perjalanan. Ada 4 orang di dalam mobil itu, termasuk saya dan suami. Barang bukti ada di kami. Ya sudah, mau gimana lagi….”, tutur seorang napi binaan yang divonis 20 tahun penjara.
“Saat itu, bayi saya baru berumur 8 bulan….”, lanjutnya sambil sejenak menerawang seolah kembali ke masa 5 tahun yang lalu saat terjadi penangkapan itu.
Ia pun diproses di pengadilan Jakarta dan sejak saat itu resmi menjadi penghuni Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta.
“Saya bilang ke anak saya yang besar, untung Mama di sini. Mungkin kalo Mama di luar sana, Mama masih jadi pengedar sampai sekarang”, lanjut napi pindahan dari Rutan Pondok Bambu, Jakarta ini.
Kasus narkoba telah membuatnya harus berbetah diri selama 20 tahun masa hukuman. Kini ia baru menjalani masa hukuman selama 4 tahun. Ia menyadari betul kesalahannya. Sejak ia menjadi penghuni ‘Pondok Bambu’, ia tertarik pada pembinaan ruhani yang diberikan di sana. Ia ingin bisa baca Quran. Ia rutin hadir pembinaan dan belajar ngaji di sana. Hingga akhirnya ia dipindahkan ke Way Huwi ini.
Sekarang ia dianggap sebagai ustadzah/guru karena kepandaiannya membaca Quran dan mengajarkan tahsin untuk napi binaan lainnya. Di dalam Lapas Way Huwi ini, ia bahkan menjadi guru ngaji untuk anak-anak karyawan/sipir Lapas. Ia pun diizinkan oleh pihak lapas untuk memakai jilbab lebar, karena ia ingin menutup auratnya lebih rapi lagi. Memang di lapas ini tidak diperkenankan memakai kerudung lebar dan penutup wajah, kecuali bagi yang memang sudah terbiasa dengan pakaian itu sebelum ia masuk lapas.
Ia pun rajin membaca buku, memperdalam ilmu agamanya. Ia suka memesan agar kami membawakannya buku yang bisa ia pelajari.
“Umi, saya bersyukur bisa di sini. Kalo saya terus di luar, entah sudah seperti apa saya sekarang. Saya belum pernah ketemu lagi dengan anak-anak saya, karena mereka tidak di Lampung ini. Tak ada keluarga yang menjenguk saya di sini. Sesekali saya telpon anak saya. Itupun tak bisa lama, karena biaya telpon di sini mahal bagi saya”, kisah ibu yang hebat ini.
“Anak saya yang dulu bayi, sekarang sudah umur 4 tahun lebih. Dia belum paham tentang mamanya. Kalo saya tidak dapat remisi, mungkin saya baru akan ketemu dia di saat usianya sudah 20 tahun. Saya akan terus berusaha membesarkan hati anak-anak saya. Saya tidak malu untuk bertemu mereka. Saya akan terus memperbaiki diri saya agar mereka juga tak perlu malu saat tahu siapa mamanya….”, maasyaallah, untaian kata yang tak mampu membuatku berkata-kata. Dialah Ibu Siti Waisah, seorang pengedar narkoba yang menjadi seorang ustadzah.
Inilah takdir Allah. Petunjuk-Nya telah menyadarkan hamba-Nya. Tak ada yang tak mungkin bagi Allah untuk memuliakan hamba-Nya dengan Alquran.
Tempat yang terisolasi ini justru mengantarkan ia menjadi seorang pencari ilmu yang mengarungi lautan huruf demi huruf.
Kemaksiatan yang dulu ia lakukan, ia gantikan dengan kepatuhan kepada Rabb-nya.
Kesedihannya selama ini, ia gantikan dengan hari-hari yang memberi manfaat, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk orang-orang di sekitarnya. Sungguh, adakah kita mampu bercermin kepada ibu hebat ini?
*
Waktu hampir menunjukkan pukul 12. Masih ada waktu sekitar 15 menit sebelum zuhur. Akupun berpamitan dengan beberapa binaan yang masih duduk di masjid.
Saat aku melangkah menuju pintu keluar masjid, seorang ibu lebih separuh baya yang tengah mengenakan mukenanya mengucapkan trimakasih padaku. Aku jadi tertarik menghampirinya sesaat.
“Sama-sama, Ibu. Mohon maap lahir batin”, ujarku sambil menyalami ibu yang kuperkirakan berumur sekitar 60 tahunan ini.
“Ibu berapa lama lagi di sini?”, tanyaku sambil masih menjabat tangannya.
“Masih 10 tahun lagi, Umi”, jawabnya ramah. Astaghfirullah, berdebar dadaku membayangkan waktu yang lama itu.
“Kenapa jadi harus begitu lama?”, tanyaku kepo sambil menutup keterkejutanku.
“Tipikor. Di Bandar Lampung, Umi”, jawaban beliau yang membuatku sedikit menghela nafas.
“Ya sudah ya, bu. Kita nikmati saja, ya… “, hiburku sambil menenangkan diriku juga. Akhirnya, akupun segera melanjutkan langkah menuju pintu gerbang zona tiga ini.
Ooh…, begitu banyak kejutan yang kudapat hari ini. Semoga Muslimat Dewan Da’wah Lampung tetap bisa mendampingi perjalanan mereka dalam menguatkan aqidah. Semoga Allah pun menguatkan mereka untuk menjalani hari-hari yang tersisa. (yw)