Setelah pasukan TNI berhasil merebut Kota Madiun dari tangan penguasaan pasukan Front Nasional, para pemimpin dan pentolannya kocar kacir ke segala arah.
Tahun itu, adalah tahun 1948. Madiun diserang oleh pasukan TNI, setelah diproklamirkannya pemerintahan Front Nasional yang disokong Partai Komunis Indonesia (PKI).
Oleh pemerintah Indonesia di bawah Perdana Menteri Mohammad Hatta, proklamasi pemerintahan Front Nasional itu dianggap sebagai pemberontakan.
Maka, Hatta pun bertindak keras, pasukan dikirim untuk menumpas pemberontakan di Madiun.
Madiun pun jatuh. Para pentolan Front Nasional menyelamatkan diri. Salah satunya adalah Musso, tokoh PKI yang baru pulang dari Moskow.
Karena kejaran tentara yang massif, Musso terpisah dari pasukan induk Front Nasional.
Ia kabur sendirian. Sampai kemudian pada 31 Oktober 1948, saat sedang berjalan kaki di Desa Balong, Musso dihentikan oleh dua orang keamanan desa yang curiga dengan penampilannya.
Soe Hok Gie dalam bukunya, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, cetakan kedua 2005, sedikit merekam kisah pelarian Musso.
Menurut Soe Hok Gie, dua petugas keamanan desa itu curiga karena penampilan Musso yang bersih. Musso pun dihentikan untuk dimintai surat-surat.
Ketika petugas keamanan desa sedang memeriksa buntelan yang dibawa, Musso melawan. Ia merampas buntelan sarungnya dan menembak si pemeriksa.
Musso lalu kabur setelah merampas sebuah sepeda. Setelah itu, Musso kembali merampas sebuah dokar yang sedang berjalan.
Para petugas keamanan desa pun langsung mengejar dan memberitahu warga desa untuk ikut mengejar.
Pasukan TNI pun dihubungi. Tak lama, ada mobil yang melintas. Musso langsung memberhentikannya dan sontak menodong yang ada di dalam mobil.
Karena kaget para penumpang dalam mobil yang ternyata adalah anggota pasukan Batalion Sunandar berloncatan keluar.
Mereka tak siap langsung ditodong Musso. Sialnya, mobil yang dirampas tak bisa dihidupkan. Musso pun dikepung.
Para tentara yang tadi dalam mobil meminta Musso untuk menyerah. Tapi Musso, malah menantang.
“Engkau tahu siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit dan berani meminta supaya saya menyerah pada engkau. Lebih baik mati daripada menyerah, walaupun bagaimana saya tetap merah putih,” kata Musso.
Pengepungnya, tidak berniat untuk menembak mati Musso. Mereka ingin menangkap hidup-hidup Musso.
Karena mobil tak bisa hidup, Musso yang masih menenteng pistol kabur ke arah desa. Para tentara membuntutinya.
Tak lama pasukan TNI yang dipimpin Kapten Sumadi datang ikut mengejar Musso.
Musso tetap tak mau menyerah. Ia bahkan masuk ke sebuah rumah. Setelah itu sembunyi di sebuah kamar mandi.
Oleh tentara pengejarnya Musso diminta untuk menyerah. Tapi karena tak juga ada tanda gembong PKI itu mau menyerah, tentara pengejar jengkel.
Para tentara pun memberondong kamar mandi. Setelah tembakan reda, Musso didapati telah tewas bersimbah darah.
Selanjutnya pasukan Kapten Sumadi membawa mayat Musso ke Ponorogo.
Di sana, mayat Musso sempat dipertontonkan untuk kemudian dibakar.