Sejak Ken Arok memesan keris, mendung kerajaan Singosari gelap tanpa hujan. Awal muasalnya saat Keris Mpu Gandring yang dipesan oleh Ken Arok, yang pada awal abad ke-13 menjadi prajurit dari Tumapel, sekarang Singasari. Keris ini dipesan oleh Ken Arok untuk menghabisi majikannya sendiri, yaitu Tunggul Ametung, yang saat itu menjadi akuwu (camat) di Tumapel. Hal ini dilakukan karena Ken Arok jatuh cinta dengan istri Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes.
Ken Arok kemudian memesan keris kepada seorang pandai besi terkenal bernama Mpu Gandring. Mpu Gandring menjanjikan keris ampuh untuk membunuh Tunggul Ametung yang sakti dalam waktu satu tahun. Namun, selang beberapa bulan, Ken Arok sudah tidak sabar. Ia pun nekat merebut keris yang belum sempurna dan menusukkannya ke dada Mpu Gandring hingga tewas. Dalam keadaan sekarat, Mpu Gandring mengutuk kalau keris itu nantinya akan membunuh tujuh orang penguasa, termasuk Ken Arok dan anak cucunya.
Masa itu belum dikenal mubahalah, yang ada hanya kutukan Mpu Gandring, orang yang terbunuh oleh Keris Mpu Gandring sebanyak tujuh orang. Korban Keris Mpu Gandring itu di antaranya, Mpu Gandring, Tunggul Ametung, Kebo Ijo, Ken Arok, Ki Pengalasan, Anusapati, dan Tohjaya. Saat Ranggawuni naik takhta menjadi penguasa Kerajaan Singasari dari tahun 1248 hingga 1272 kisah keris mulai berakhir. Dalam Kitab Pararaton maupun Negarakertagama, Ranggawuni juga dikenal sebagai Wisnuwardhana. Ketika Ranggawuni menjadi penguasa Kerajaan Singasari, ia memerintahkan untuk memusnahkan keris Mpu Gandring dengan membuangnya ke dalam kawah gunung, karena dianggap menjadi sumber kegaduhan.
Bambu runcing, punya sejarah heroik. Di nusantara ini juga kisahnya, tak perlu pesan, bisa buat sendiri. Sejarahnya menorehkan kemerdekaan yang kini telah sampai ke 77, nanti saat 17 Agustus 2022. Senjata ini dimiliki masyarakat, bukan untuk membunuh sesamanya, tetapi mengusir penjajah.
Kitab “Bamboo Research in Asia” : Proceedings of a Workshop Held in Singapore (Lessard, Gilles, Amy Chouinard, 1980), dijelaskan bahwa bambu runcing digunakan sebagai alat untuk melawan para penjajah. Senjata bambu runcing pertama kali diperkenalkan oleh seorang ulama pesantren bernama Kiyai Subkhi Parakan asal Temanggung Jawa Tengah, terutama ketika dalam pertempuran 10 November 1945. Saat itu, terjadi kekurangan peralatan perang sementara perjuangan masih harus terus dilanjutkan. Dalam menghadapi perang itu, muncul apa yang disebutnya Barisan Bambu Runcing, yang awalnya berasal dari Barisan Muslimin Temanggung. Dalam laskar ini, peran kiyai pesantren paling dominan dalam memberikan kekuatan kepada para pejuang.
Kala itu Oktober 1945, Kiyai R Sumomihardho, meminta H Abdurrahman bin Subkhi untuk memanggil para pemuda Desa Parakan Kauman agar mencari bambu wulung dan ujungnya diruncingkan sehingga menjadi bambu runcing. Setelah diperoleh, bambu tersebut dibawa ke rumah Kiyai R Sumomihardho untuk didoakan dan dijadikan senjata. Beberapa hari setelah Barisan Muslimin Temanggung terbentuk, para pejuang Banyumas datang untuk diberikan kekuatan doa atas bambu runcingnya guna melakukan penyerbuan ke Ambarawa. Semenjak itu, kabar mengenai bambu runcing menyebar hingga ke seluruh daerah. Sampai akhirnya, senjata bambu runcing pertama kali digunakan saat pertempuran 10 November 1945 berlangsung.
Hutang negeri ini begitu besar kepada para Kiyai, santri dan warga muslim kampung. Tak banyak bicara, tapi justru berkorban karena tanah warisan nenenk moyangnya. Mereka bergerak mengikuti komando sang kiyai, hidup mulia atau mati syahid, merdeka atau mati. Bukan hanya berteriak ‘harga mati’ tetapi menikmati hidup tanpa peduli.
Di masa modern, alat perang berganti. Bukan dari keris yang bermantra, atau bambu runcing dioles doa. Bedil, pelontar peluru otomatis buatan pabrikan. Modelnya macam macam, persyaratannya ketat. Digunakan untuk mengamankan diri, juga peperangan. Pemakaiannya memang tidak melulu dalam peperangan, tapi juga mirip kisah keris, soal asmara, penasaran dan kuasa. Nyawa bisa melayang tanpa alasan yang tepat, membuat darah meleleh mengantar kematian, bercampur air mata keluarga yang ditinggalkan.
Pemegangnya haruslah memiliki jiwa yang sehat. Perlu kesiapan mental yang mumpuni, ia bisa dioperasikan dari jarak yang jauh. Pelatuknya satu, tapi isinya banyak. Timah panas keluar menyisakan asap, sekaligus kegetiran. Saat timah melesat rasanya tak mungkin dihentikan, dibuat bukan untuk seni estetika, tapi untuk melumpuhkan. Saat ditangan pembunuh, bedil hanya mematikan. Tanpa penyesalan, berdarah dingin.
Berita peluru bedil, mengalahkan buah durian yang masuk Jakarta. Biasanya buah akan jatuh tak jauh dari pohonya. Tapi tak berlaku bagi buah durian, termasuk durian tiga yang jadi tranding topik. Yang jatuh bukan buah, tapi malah nyawa sang anak buah. Ah, menyebalkan topik ini menguasai berita, hingga warga lepas berita soal partai, wakil rakyat, mahkamah dan siapa presiden selanjutnya.
Kalo bernegara akhirnya berakhir kematian, trus apa manfaat anggaran dan pelayan masyarakat. Juga undang undang, rapat rapat pleno yang melelahkan. Apa dibiarkan saja, toh itu urusan mereka, bukan urusan kita. Tapi tidak begitu juga, karena pajak kita bayarkan. Saat terlambat bayar, malah kita dipermalukan. Dipasang tanda ‘rumah ini belum bayar pajak’. Trus bagaimana! Taat aturan adalah kesadaran hukum yang harus dirawat, karena bernegara sejatinya masing-masing warga tau tentang hak dan kewajibannya.
Trus bagaimana! Padahal hidup itu indah. Bisa berbincang mengungkapkan kebaikan, tentang masa kini dan masa depan. Keris dan bedil hanya menyisakan kebencian. Sementara bambu runcing memiliki kisah yang lain, tentang keberanian, pengorbanan dan kemuliaan.
Merdeka, atau binasa! Taat hukum saja, hukum langit sekaligus hukum bumi.
Jakarta-Bandung, 12/8/22
Catatan al ustadz al mukarrom Ahmad Misbahul -hafidzohullahu ta’ala-