إِذْ قَالَتِ ٱمْرَأَتُ عِمْرَٰنَ رَبِّ إِنِّى نَذَرْتُ لَكَ مَا فِى بَطْنِى مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّىٓ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ
(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Ali ‘Imran, 35)
Peradaban manusia, setelah dasar dasarnya dibangun melalui individu, selanjutnya didemonstrasikan dalam lingkup keluarga. Al Quran memilih kisah keluarga dalam cerita yang sangat menakjubkan. Bobot nilainya selalu relevan dengan kehidupan segala zaman.
Saat banyak peradaban mengesampingkan peran keluarga sebagai basis kekuatan, Islam mengingatkannya dengan bahasa dan pendekatan yang berbeda. Keluarga difahami tidak sskedar sebagai puncak kebahagian, kehormatan, harta dan yang lainya. Tetapi dijadikankanlah keluarga tersebut sebagai media mendekatkan diri kepada Allah.
“Hai Rasulullah, ingatlah kisah istri Imran yang bernama Hanah binti Faqudz, ketika ia sedang hamil ia berdoa: “Ya Tuhanku, aku bernazar anak yang ada dalam kandungan ini akan aku serahkan untuk beribadah penuh kepada-Mu dan untuk mengabdi pada Baitul Maqdis, maka terimalah nazarku ini. Sungguh Engkau Maha Mendengar doaku dan Maha Mengetahui niatku.”
Keluarga yang dibangun dengan proses pernikahan yang agamis, menghilangkan peradaban perzinahan yang bercorak kebinatanan. Kebebasan hubungan laki dan wanita, gonta ganti pasangan bahkan pertukaran pasangan. Ijab dan qabul, antara laki dan wali kemudian bisa difahami sebagai huhungan pengembangan manusia sebagai penduduk dunia. Demografi dikembangkan dengan syariat Allah.
Disinilah demografi yang berketuhanan yang maha Esa. Harapan penduduk yang ingin mewujudkan kesholehan dan perkhidmatan kepada agama. Bukan keluarga yang justru memusuhi agama. Benci syariat, benci jilbab, benci keuangan syariat, benci saudara seagama dan benci kepada wahyu Rabbani.
Keluarga Imran, diabadikan oleh wahyu karena cita cita luhurnya. Minta diberikan anak yang sholeh yang akan berkhidmat (mengabdi) untuk agamnya. Kesadaran untuk mengungkapkan tujuan diciptakannya manusia, sebagai hamba penyembah Allah. Dari keluargalah, masyarakat terbentuk. Entitas kelompok dalam bentuk keluarga diyakini dan telah teruji sebagai basis dakwah yang kuat. Seorang mentor dakwah menyebutkan, “Dakwah ibarat membangun keluarga”.
Siapa yang sukses dalam dakwahnya, bisa dilihat dari bagaimana mereka membangun keluarga. Bangunan keluarga bisa diamati sebagai obyek dakwahnya. Mengatur rutinitas yang tidak saja berskala kecil, suami dan istri, tetapi masuk didalamnya koneksi koneksi yang luas antar keluarga, antar kampung, antar keluarga dan antar warga bangsa.
Dari keluarga muncul wanita wanita pemberani yang mau mengambil resiko, tapi juga pernuh harap jauh kedepan. Melahirkan anak anak yang akan menjadi penerang manusia, bukan sekedar menerangi dirinya sendiri. Sang ibu dan ayah mengajarkan nilai keikhlasan, tanggung jawab dan bagaimana menghadapi ujian. Tak pernah mengeluh, hanya kepada Allah mereka menggantungkan harapan.
Ya Allah karuniakanlah kami kepada dakwah dalam kehidupan keluarga, bersama pasangan dan anak anak kami