“Dan sesungguhnya Engkau (Muhammad) benar-benar berbudi yang luhur” (QS. al-Qalam : 4)
Media terdekat, bagaimana seorang dai menyampaikan pesan dan masyarakat menangkap pesan adalah budi luhur (akhlak). Bagaimana sang dai mengekspresikan perilakunya secara langsung dihadapan warga. Bahkan tanpa jeda dan persiapan. Karena bersifat otomaticly personal, dicatat dalam benak, ditampilkan langsung.
Budi luhur adalah inti dari ilmu yang sudah merasuk dalam jiwa dan jasad. Ia adalah buah ilmu, pantulan cahaya, bekas yang tersisa dari sinar Islam. Akhlak menjadi ciri pertama yang akan dikenang orang lain. Berusaha ditiru tanpa harus meminta izin pelaku pertamanya.
Rasulullah dihadirkan sebagai pendidik akhlak, dengan konten materinya dari wahyu. Bukan karena sekedar kebiasaan baik, tetapi semacam penampakan atau SOP dari aksi nyata terjemahan hukum syariat Allah bagi manusia. Jika sebagian kalangan menyebutkan akhlak ini terkesan hanya sebatas adat-istiadat yang berlaku, ternyata akhlak tidak sekedar kebiasaaan harian manusia.
Akhlak adalah eksistensi dari bangunan agama. Maka tatkala seorang juru dakwah mengisi hidupnya dengan akhlak Islam, sejatinya ia sedang membina masyarakat secara langsung untuk mempraktekkan perintah Allah. Ia adalah bentuk nyata aktualisasi diri, bahwa inilah komitmen seorang Muslim.
Maka menjadi catatan tinta emas, saat Sayyidah Aisyah ditanya sahabat, bagaimana akhlak Rasul? beliau menjawab, “Adalah akhlaknya adalah al-Qur’an”. Penjelasan yang sekaligus mendefinisikan apa itu akhlak.
Saat wahyu membicarakan soal kepemimpinan, menjadi rakyat, menerima tamu, sampai dalam hal bagaimana menghadapi lawan dalam dialog dan perang, sejatinya peristiwa-perristiwa tersebut adalah mengajarkan akhlak. Dari akhlak yang ditampilkan, akan mendorong lawan merespon yang seimbang.
Dai yang sedang dilapangan, adalah contoh-contoh nyata tertang akhlak tersebut. Seluruh kehidupanya, terutama yang terlihat oleh masyarakat adalah konten dakwah yang efektif. Sang dai langsung bisa memaparkan secara langsung dan warga binaan demikian juga. Kesempatan seperti ini, akan membuat warga binaan merasa ada kawan dalam menampilkan Islam ditengah masyarakat.
Pendekatan pembinaan melalui akhlak, adalah motivasi kearah bangunan kejamaahan. Mengapa? Karena lawan bicara, yakni masyarakat merasakan kedekatanya dengan sang dai dan juga jamaah lain yang juga melakukan hal yang sama. Pada waktunya, nanti akan memposisikan konten akhlak menjadi budaya harian, adat istiadat. “Adat bersandi syara’, syarak bersandi Kitabullah”, ungkapan kaum santri Minang yang sangat terkenal.
Maka, perlu bagi seorang dai untuk selalu memiliki akhlak yang baik, makudnya budi luhur yang bersumber dari Kitabullah dan sunnah Nabi. Jika sang dai belum siap dengan perilakunya dilihat warga, perbaikan adalah jalan pertamanya. Karena jangan sampai, apa yang tercermin dalam aksi nyata, kemudian menjadi masalah terhadap sumber akhlak. Atau, menjadi sumber anti-pati warga untuk bangga dengan Islam.
Jadi, soal akhlak, budi luhur, moral, karakter, bagi Islam sejatinya adalah penampilan dhohir dari perintah Allah dalam bentuk aksi nyata. Bukan sekedar menambah ilmu, tapi bagaimana ilmu itu diamalkan, sehingga menjadi akhlak Muslim yang mulia. Berat awalnya, tapi ringan dalam kebersamaan. Begitulah saat akhlak telah membumi, menjadi keseharaian pribadi dan jamaah.
Diselesaikan di PondokRanggon, Jumat 5 Maret 2021
Oleh Ust Dr. Misnahul Anam Kabid Dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
Oleh Ust Dr. Misnahul Anam Kabid Dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia