يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَرْفَعُوٓا۟ أَصْوَٰتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ ٱلنَّبِىِّ وَلَا تَجْهَرُوا۟ لَهُۥ بِٱلْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَٰلُكُمْ وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (QS. Al-Hujurat: 2)
Jika suara ada suara semakin tinggi, berarti ditempat yang lain ada suara yang hilang. Suara tinggi menandakan keseriusan. Sebagian besarnya malah menunjukkan kesombongan, kekuasaan dan juga menghinakan. Pada umumnya, manusia merasa terganggu dengan suara keras, dan tentu tidak suka.
Dalam kondisi normal, suara pelan membantu hati dalam merenung dan bercengkrama dengan alam ruhiyah. Banyak pesan yang sampai pada audien dengan suara pelan. Anak bayi dan juga manusia normal, berusaha berinteraksi dengan kondisi yang pelan. Mengapa? Karena kehormatan seseorang bisa dikenali dengan kelembutannya.
Dalam banyak fenomena sosial, suara keras menjadi seban hilangnya kehormatan diri dan juga prnghormatan insani. Para juru dakwah diingatakan agar tidak mengeraskan suara, melebihi para guru dan para mentor senior. Ada adab yang perlu ditampilkan saat berbincang dan berdialog.
Memang Rasul telah tiada kini. Namun ayat ini masih relevan dengan kehidupan masyarakat dan juga tugas para juru dakwah. Bahwa selain larangan bicara dengan keras, juru dakwah seyogyanya menjadikan ayat ini sebagai pelajaran berharga. Bahwa kata kata keras, juga kasar tidak disenangi oleh kehidupan sosial.
Berkata yang keras, dalam konteks sosial juga dapat didekati sebagai ungkapan merendahkan. Merendahkan argumen orang lain. Membuat orang lain merasa terhina, karena suaranya hilang dan tidak dihargai. Suara keras seringkali mewakili ungkapan kemarahan dan ketidak senangan. Juga, ketidak pedulian kepada sesama. Perhatian terhadap ayat ini diingatkan oleh seorang mufassir,
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abi Mulaikah ia berkata, “Hampir saja dua orang yang dipilih membuat Abu Bakar dan Umar binasa radhiyallahu ‘anhuma, keduanya mengeraskan suaranya di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika rombongan dari Bani Tamim datang kepada Beliau, lalu yang satu menunjuk Aqra’ bin Habis saudara Bani Mujaasyi’, sedangkan yang satu lagi menunjuk yang lain. Nafi’ (perawi hadits) berkata, “Saya tidak hapal namanya.” Lalu Abu Bakar berkata kepada Umar, “Engkau tidak bermaksud selain menyelisihiku.” Umar menjawab, “Aku tidak bermaksud menyelisihimu.” Suara keduanya pun semakin keras dalam hal itu, maka Allah Ta’ala menurunkan ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu…dst.” Ibnuz Zubair berkata, “Maka Umar tidak lagi memperdengarkan (mengeraskan suaranya) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah ayat ini, sampai Beliau meminta kejelasan (kata-katanya).” Ia tidak menyebutkan hal itu dari bapaknya, yakni Abu Bakar (Abdullah bin Abi Mulaikah atau Abdullah bin Az Zubair, tidak menyebutkan dari bapaknya yang tergolong sahabat).”
(Syaikh Muqbil menjelaskan, hadits ini diriwayatkan pula oleh Tirmidzi juz 4 hal. 185, dan di sana disebutkan secara tegas bahwa Abdullah bin Abi Mulaikah diceritakan oleh Abdullah bin Az Zubair, dan ia (Tirmidzi) menghasankannya. Demikian pula diriwayatkan oleh Ahmad juz 4 hal. 6, Thabrani juz 26 hal. 119, di sana disebutkan ucapan Nafi’, bahwa Ibnu Abi Mulaikan telah menceritakan kepadanya dari Ibnuz Zubair, sehingga diketahui bersambungnya hadits ini sebagaimana diisyaratkan oleh Al Haafizh dalam Al Fat-h juz 10 hal. 212).
Ayat ini merupakan adab terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbicara dengan Beliau, yakni janganlah orang yang berbicara dengan Beliau meninggikan suaranya di atas suara Beliau, demikian pula jangan mengeraskan suara kepada Beliau, bahkan harus merendahkan suaranya, berbicara kepadanya dengan sopan dan lembut, dengan memuliakan dan menghormati serta mengagungkan, dan agar jangan menganggap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti kawan sesama mereka, bahkan mereka harus membedakan Beliau dalam berbicara sebagaimana Beliau harus dibedakan daripada yang lain tentang haknya yang wajib dilakukan oleh umat Beliau, dan wajibnya beriman kepada Beliau serta mencintai Beliau. Hal itu, karena jika tidak melakukan adab tersebut terdapat bahaya dan dikhawatirkan akan hapus amal seorang hamba tanpa disadarinya. Sebaliknya, beradab dengan Beliau termasuk sebab memperoleh pahala dan diterimanya amal. Ketika kamu berbicara. Meninggikan suara lebih dari suara Nabi atau berbicara keras terhadap Nabi adalah suatu perbuatan yang menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, dilarang melakukannya dan dapat menyebabkan hapusnya amal perbuatan.
Begitulah adab dai harus menampilkan kata kata yang lembut, menyejukkan, menggembirakan, menjauhkan diri dari suara keras dan kasar. Karena ummat menunggu sentuhan dan kasing sayang. Kata-kata adalah mewakili ungkapan isi hati.