وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS Fussilat Ayat 33)
“Ah! Yang bener bang, masak jadi dai keren?”, pertanyaan imajinatifku saat 30 tahun yang lalu. Yang kufahami, waktu itu belum terbiasa menyebut dai, paling “Guru Ngaji” yang hidup apa adanya, bahkan kelewat sederhana. Cirinya calon guru ngaji, sekolahnya di madrasah diniyah yang berbau agama, “gitu deh” kata anak zaman now. Pakainya kopiyah hitam, baju koko dan sarungan kemana saja, tak peduli saat main bola, panjat pohon kelapa, ke pasar dan naik bus.
Di lingkungan sosial, juga kumpulnya sama orang tua yang sudah mukai bau tanah, astaghfirullah. Bahkan, banyak yang “nyinyir”, jadi guru ngaji seperti kehidupan Malaikat, tak perlu dunia. Hidupnya cenderung Kere(n), upps jika kurang berkenan, seperti hidup tanpa cita cita dan optimisme. Bahkan sebagian guru ngaji yanh dikucilkan, diajak bicara saat ada kematian, pernikahan, kelahiran dan barang hilang untuk berdoa, atau 5 tahun sekali dikasih panggung untuk bicara karena akan ada pemilihan kepala desa.
Tapi siapa sangka, nasib dan posisi guru ngaji atau dai begitu mengesankan di mata pencipta makhluk dan alam ini Allah swt. Pernyataannya jelas dan lugas, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah ….”. Dai sejatinya adalah fenomena kerinduan banyak manusia untuk dapat mengobati jiwa. Syeikh alBahi Al Kulli menyebutkan, “dai itu laksana thabib/dokter yang mengobati penyakit hati”.
Sang dailah yang melakukan diaknosa masyarakat, apa yang sejatinya terjadi melalui pengamatannya, pikirannya, agar obat yang diraciknya mujarab untuk mengobati. Sang thobib maayarakat melakukanya saat diminta ataupun tidak diminta, bahkan saat masyarakat tak peduli sama sekali dengan penyakitnya. Ada penyakit hasad, dengki, iri, judi, mabuk, zina, mencuri, membunuh dan lain lain. Tapi sang dai melakukan itu secara diam diam, nyaris tak terdengar dan bikin berisik.
Tapi satu demi satu, masyarakat tersadar dengan penyakitnya. Karena sang dai melakukan pembinaan dengan pelan pelan, menggunakan seluruh media pertemuan, bisa diwarung, saat ngobrol. Sang dai tidak menggunakan Mimbar Mimbar Masjid dan Panggung Ceramah sebagai satu satunya media. Sang dai dalam melakukan dakwah, memang mempersiapkan dirinya dengan ilmu, skil, jaringan, dan berbagai macam usaha untuk memudahkan pesan Allah sampai kepada masyarakat.
Mereka tak peduli dengan sebutan dan posisi. Karena memang misi dirinya menjadi dai hanyalah melakukan perubahan, dari satu kondisi ke kondisi yang lain yang lebih baik sebagaimana maunya Allah, sebagaimana pesan pujangga dakwah Kiyai Mohammad Natsir.
Jadi, Dai itu keren kalo begitu, bukan kere(n), karena ia memang tidak perlu lagi dengan hiasan dunia ini. Ia hanya mengambil jika perlu, biarkan rizkinya dikelola oleh orang lain. Yang penting saat diperlukan ada. Anda diposisi mana sekarang, saatnya mengambil bagian yang keren ini, “Jadi dai itu Keren”, pesan Dr. Adian Husaini dihadapan duat yang akan berangkat kepedalaman.
Saya jadi tambah faham pesan -Allah dalam surat Fussilat ayat 33 diatas. Ayolah kalo begitu, kita ambil bagian!