رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
Artinya: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan (dari) mendirikan shalat dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (Q.S. An-Nuur [24]: 37-38).
Pernah kualami 20 tahun lalu, saat mulai aktif menekuni dunia dakwah, tentang pilihan, bagaimana enaknya, “Apakah akan dakwah seterusnya, atau banting setir melakukan perbaikan ekonomi dan mengurangi aktifitas itu”. Bertekun dakwah, ya menghabiskan waktu terjun di kegiatan dan perencanaanya bersama kawan seiring dalam dakwah. Sementara kebutuahn hidup terus bergulir, tak bisa dihentika. Maklum hidup di ibu kota, semuanya serba fulus. Saat itu kami sulit memberikan jawaban atas pertanyaan kami sendiri.
Terpaksalah kami mengajukannya ke tokoh dakwah didikan Kiyai Mohammad Natsir, ustadz Syuhada Bahri dan Ust Muzayyin Abd Wahab Allahuyarham. Jawabannya ringan, menghibur walaupun kami harus garuk garuk kepala. Kata beliau berdua dalam kesempatan yang berbeda, “Dakwah ini ibarat orang tanam padi. Tiap sore atau pagi selalu ditengok dan dibersihkan rumput2 atau apa yang dapat mengganggu pertumbuhannya. Jika rezeki, pak tani bisa menangkap belut dan ikan gabus yang ada didalamnya, atau rumput2 untuk dibawa pulang. Begotilah dakwah, rezeki mengikuti para pelakunya”.
Walaupun jelas jawabannya, tapi kami masih perlu waktu untuk memahaminya dan memahamkan kepada keluarga. Mengapa? Karena belut dan gabus tak bisa dipastikan. Bahkan, jika ke sawah niatnya hanya mau menangkap belut dan gabus, boleh jadi padi padi akan rusak. Karena belut itu licin dan pandai berkelit. Begitulah rezeki.
Sementara keperluan yang pasti , tentu menjadi target untuk memudahkan hidup. Bisa dibayangkan bagaimana susahnya, jika kebutuhan pasti, tapi pendapatan tak pernah pasti. Kadang ragu, kadang sadar. Seiring waktu, memamg demikian adanya, karena rizki ternyata sudah punya alamat sendiri. Pasti akan datang, walaun tak tahu sampainya.
Tak lama, maksudnya seiring dakwah itu akhirnya menjadi pilihan utama, Allah datangkan berbagai rizki, terutama rizki kesabran dan keyakinan yang mantap, bahwa dakwah adalah solusi. Memang, jika mampu berdagang tak apalah, asal tak mengganggu fokus utamanya yakni dakwah.
Dalam kondisi inilah, mengapa dakwah tak bisa dilakukan sendirin, tapi harus beramal jamai. Banyak aspek yang harus diselesaikan, berbagilah dengan yang lain dalam satu lembaga. Satu bagian mencari supporting dakwah, bagian lain mengelola dan memanfaatlannya menjadi kegiatan kegiatan.
Tapi itulah idealisme dakwah, meninggalkan jual beli yang dalam banyak kasus, membuat rintisan dakwah memang memerlukan dan memporsir waktu yang banyak. Orang orang idealis perlu dibina secara intensif, karena mereka selalu ditunggu masyarakat.
Ohya, diakhir tulisan ini ku ucapkan tahniah untuk guru filsafat Islam, Prof, Dr Hamid Zarkasi. Dulu penginya mondok ke Gontor, tap kesampaian. Tapi terjawab setelah 20 tahun kemudian di Ibn Khaldun Bogor. “Walau kepala ngebul”, kata kawanku Dr Budi. Tapi karena canggihnya ngajar, bisa membuat yang ruwet terurai dengan ringan. Semoga dakwah akan menjadi sebaik2 perdagangan , dan mempertemukan kita di jannah.