Selasa (27/7/2021), Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia dan sejumlah tokoh Ormas Islam, melakukan kajian serius tentang Baha’i. Kajian itu dilakukan, karena banyaknya WA yang masuk ke pimpinan Dewan Da’wah, menyusul beredarnya video ucapan selamat Hari Raya Baha’i “Naw Ruz 178 EB” yang disampaikan oleh Menteri Agama RI. Dalam video tersebut, Menteri Agama menyampaikan ucapan selamat Hari Raya Baha’i, dengan menyatakan diri, sebagai wakil resmi pemerintah RI.
Dengan pengakuan dan sambutan resmi dari Menteri Agama tersebut, pertanyaan yang banyak disampaikan oleh masyarakat adalah, apakah betul agama Baha’i sudah diakui secara resmi oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dan selanjutnya, dengan pidato Menteri Agama tersebut, apakah agama Baha’i juga akan diurus oleh Kementerian Agama, sebagaimana enam agama yang diakui secara resmi, sesuai UU No 1/PNPS/1965, yaitu agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu.
Lebih jauh lagi, apakah ke depan, Kemenag juga akan mengadakan sekolah-sekolah agama Baha’i, dan menyediakan guru-guru agama Baha’i, sebagaimana enam agama lainnya. Dengan alasan, bahwa semua pemeluk agama harus diberikan pelayanan yang sama. Apakah benar seperti itu?
Semua itu perlu dikaji secara mendalam, demi menjaga keutuhan NKRI dan menjaga keharmonisan kehidupan umat beragama di Indonesia. Apalagi, di tengah musim Pandemi Covid-19, umat Islam dan masyarakat Indonesia sedang berkonsentrasi untuk menangani Pandemi. Apalagi, masalah agama adalah hal yang sangat sensitif di Indonesia.
Karena ini menyangkut soal eksistensi dan kedudukan agama Baha’i di Indonesia, maka berdasarkan pantauan redaksaai mediadakwah.id, dalam pertemuan pagi tadi, DDII mengundang sejumlah tokoh Ormas Islam. Hadir dalam pertemuan itu Ketua Majelis Fatwa DDII, Ketua Bidang Kajian DDII, Pusat Dokumentasi Tamadun, dan juga wakil dari beberapa Ormas Islam. Hadir juga pakar hukum Tata Negara dari UI dan Pakar HAM, serta pakar aliran-aliran keagamaan di Indonesia.
Diskusi para tokoh dan pakar itu berlangsung sangat serius. Kedudukan Agama Bahai dikaji dari sudut UUD 1945, HAM, UU No 1/PNPS/1965, Administrasi Negara, juga dari fatwa-fatwa ulama dan lembaga internasional. Bahan-bahan otentik tentang agama Baha’i juga sudah terkumpul.
Untuk menindaklanjuti hal itu, DDII membentuk “Tim Peneliti Agama Baha’i”, yang dipimpin oleh Dr. Taufik Hidayat. Tim ditugaskan bekerja cepat, tetapi juga harus cermat dan berpegang kepada asas legal-konstitusional. InsyaAllah dalam waktu singkat, Tim Peneliti ini akan menyampaikan hasilnya kepada para pimpinan Ormas Islam, untuk ditindaklanjuti secara hukum atau aspek-aspek lain yang berkenaan.
Agama Baha’i sebenarnya sempat dilarang di Indonesia, melalui Keputusan Presiden Soekarno Nomor 264 Tahun 1962. Keppres tersebut, selain melarang agama Baha’i, juga melarang Freemasonry dan segala turunannya. Tahun 2000, Keppres Presiden Soekarno itu dibatalkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dan diterbitkan Keppres No 69 tahun 2000, sehingga organisasi Baha’i boleh beroperasi di Indonesia.
Tim Peneliti Agama Baha’i diharapkan meneliti juga masalah tersebut, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang agama Baha’i dan eksistensinya di Indonesia. Tim diberi waktu dua hari untuk menghimpun dan mengkompilasi bahan-bahan kajian dan mempresentasikan kepada para pimpinan Ormas Islam.