قَالَ رَبِّ إِنِّى دَعَوْتُ قَوْمِى لَيْلًا وَنَهَارًا
Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, ( Nuh : 5)
Optimisme dai, sejak pembekalan, pengumuman tempat tugas, persiapan fisik, kontak ke daerah dan harapan doa, menjadi tanda bahwa tugas dakwah akan dituntaskan, tas tas. Tak ada yang mengeluh, cuma ada beberapa yang perlu diajak ngobrol santai, agar jiwa tenang menerima tugas ini.
Beberapa yang mengajak ngobrol, ternyata mereka ini (duat pengabdian) juga sedang merencanakan dan sebagian sudah memulai dakwah di kampung halaman. Namun tugas, ke kampung lain tak mudah untuk ditolak. Apa sebab? Lembaga memerlukan pengorbanan sang dai untuk merintis dan membangun jaringan dakwah, yang itu bermakna kesempatan melatih diri bertemu dengan banyak pribadi diluar daerahnya.
Al-Qur’an bahkan memerintahkan hambanya, tentu dai menjadi prioritas agar bertebaran dimuka bumi. Melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan pembinaan, difaan kepada ummat sebanyak banyaknya. Keluar daerah untuk berdakwah, adalah latihan dan penguatan mental. Memang tugas itu memutus sementara tentang kampung halaman. Tapi kapan lagi kesempatan diambil, jika tidak sekarang.
Jika ayat diatas mengetengakkan tentang bagaimana beratnya menyeru ummat, ternyata ada yang lebih berat saat menyeru diri sendiri untuk menjalankan dengan ikhlas tugas dakwah. Mendekatkan antara rencana pribadi dengan amal jama’i. Egoisme memang tak mudah ditundukkan, tapi dalam banyak kisah “kesabaran” telah banyak berperan melakukannya.
Malam dan siang, dicipta tidak sekedar untuk membagi waktu kapan beraktifitas dan kapan istirahat. Tapi ia adalah zona ruang dan waktu, seorang hamba melaksanakan tugas tugas dakwah. Mengapa waktu berdakwah sedemikian panjang? Karena tugas dakwah adalah mengubah manusia, mengubah satu kondisi ke kondisi yang lebiih baik sebagaimana yang diinginkan Allah. Dakwah bukan mengubah besi dan kayu.
Jangan pernah berhenti berdakwah, kerena kita punya komitmen.