وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya, 107)
Saat banyak tokoh, penguasa, penulis meriwayatkan cerita tentang phobia tehadap Islam, Thomas W Arnold memiliki catatan sebaliknya,
“Penaklukan yang menakjubkan…..bukanlah hasil suatu peperangan suci yang dimaksudkan sebagai propaganda Islam, tetapi peperangan ini terjadi karena borok-borok sejarah agama Kristen, sehingga ada anggapan seolah-olah peperangan adalah tujuan . . . “.
Dalam banyak pesan, seringkali kita mendapatkan ungkapan, “dakwah itu merangkul, bukan memukul. Dakwah itu mencintai, bukan membenci”. Dari sisi semanga amatlah cocok dan kuat pesan itu dalam benak para juru dakwah. Karena memang pesan agama ini adalah mendamaikan pertentangan menuju kesatuan tauhid. Semangat inilah yang hingga kini masih menyala dan diperjuangkan dengan penuh kesadaran oleh kaum Muslimin.
Para pejuang dakwah, merintis dan menjaga dakwah dengan berbagai lakon dan episodenya untuk menyapa berbagai kalangan. Mereka membeberkan konsep Basyiran (kabar gembira) dan Nadziran (ancaman) sebagai konsekwensi nya. Bagaimana respon obyek dakwah, ada yang sadar tapi ada pula yang menolak. Sesuatu yang amat alamiyah dalam kehidupan ini.
Tapi yang jelas, dai dan ajakannya harus meninggalkan kesan seorang pribadi yang mencintai sesamanya, menghormati hak-hak orang lain, menjaga reputasi sosial lawan bicara, dan selalu mendoakannya agar hidayah ini sampai menembus jantung masyarakat. Mengemas pesan yang dirasa berat menjadi ringan adalah upaya yang harus terus dicari dan dikembangkan, agar kesan merangkul dan mencintai berbuah hidayah.
Pesanya jelas, Rahmatan lil alamin, agama ini menjadi tempat berteduh untuk rehat sejenak, sambil berfikir dan merenung tentang kebaikan Islam. Dalam dakwah ibarat bangunan besar, selalu menyediakan ruang konsultasi, sebelum memutuskan untuk ikut bergabung didalamnya. Peristiwa yang diceritakan W Arnold diatas bisa menjadi referensi ilmiah kita, bahwa masyarakat Kristen masuk Islam karena mereka merasakan adanya masalah dalam agama mereka dan banyak harapan dalam Islam.
Kedatangan Islam, memang dirasakan dapat menyelesaikan persoalan persoalan sosial. Kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dakwah. Maka Rasul pernah bersabda, “sampaikan salam, beri makan . . . .”. Satu pesan yang menggambarkan bagaimana situasi sosial bisa dikelola menjadi media dakwah. Dalam kontek materi, term Rahmat bisa dijadikan bahan pengembangan dakwah.
Tapi, kita juga jangan kemudian lupa bahwa dakwah ini juga ada Nadzira-nya, peringatan yang seringkali difahami kebalikan dari kabar gembira. Karena jika kita amati dilapangan, Basyiran/kabar gembira-pun bisa ditangkap dengan nada negatif. Kok bisa? Saat pemuja dunia tidak terima, bahwa hidup ini ada akhiratnya. Padahal, kabar gembira dalam banyak ayat, pastilah menceritakan tentang Iman kepada Akhirat. Bagi kalangan materialistik, kehidupan setelah mati adalah absurd, mimpi untuk menenangkan manusia dari gejolak jiwa.
Agama, dalam konsep kaum materialistik adalah candu yang memabulkan. Maka dihadapan para juru dakwah, apakah pesan disampaikan dengan penuh kabar gembira ataupun dengan mengutip pesan-pesan peringatan, respon akan selalu muncul dalam narasi yang boleh jadi berbeda. Tapi bagi juru dakwah, pesan pesan wahyu harus tetap disampaikan dengan nada, cara, pendekatan yang manusiawi. Sebagaimana pesan ayat diatas.
“Dan Kami tidaklah mengutusmu (wahai Rasul) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Maka barangsiapa beriman kepadamu, niscaya dia akan berbahagia dan selamat, dan barangsiapa tidak beriman, maka dia akan gagal dan merugi”.
Para juru dakwah adalah penerusnya, tetaplah istiqamah. Berbagai cara harus kita cari agar dakwah semakin luas. Dan jika resiko datang sebagai respon, pahamilah sebagai ujian dan bahan kajian untuk koreksi dan pengembangan ke depan. Nasrun minallah wa fathun qarib
PondokRanggon, 20/2/21
DaiKampungKota