Namaku Maria Yuana Yanti. Aku biasa dipanggil Ana. Aku lahir dari kedua orang tua yang Katolik. Keluarga ibuku ada yang beragama Katolik, ada juga beberapa yang beragama Islam.
Singkat cerita, di usia dewasaku, aku bertemu dengan seorang lelaki muslim yang kemudian mengajakku menikah. Dia memberikan kebebasan padaku, untuk tetap di agama Katolik atau masuk Islam.
Menurutku, pernikahan beda agama nantinya akan menimbulkan masalah. Maka kuputuskan untuk masuk Islam dengan kesadaran penuh tanpa paksaan siapapun. Sebelum menikah, aku bersyahadat di bawah bimbingan paman calon suami yang juga seorang ustadz. Setelah menjadi mualaf, aku pun dibimbing belajar sholat.
Orang tuaku menentang hal ini, terutama ayahku. Sampai beliau sering sakit dan pergi menghindari kami sekian lama.
Untunglah, saat pernikahan kami, orang tuaku berkenan hadir karena didampingi banyak saudara yang juga muslim.
Setelah menikah, aku baru bisa sholat. Paman suami kembali membimbingku belajar mengaji. Tapi ini tak berlangsung lama, karena setiap aku pulang mengajar, hari sudah sore dan terasa lelah. Kujadikan alasan ini untuk akhirnya tak melanjutkan belajar mengaji.
***
Waktu pun terus berlalu. Di usia pernikahan kami yang baru berbilang bulan, rumah tangga kami goncang dan membuatku benar-benar hancur. Keluargaku berharap kami berpisah dan berharap aku kembali kepada mereka.
Namun, keluarga suami sangat mendukungku dan membuat aku merasa terlindungi. Alhamdulillah akhirnya masalah kami pun terselesaikan.
Sayangnya, masalah yang muncul tersebut tidak membuatku merasa harus menjadi muslim yang baik. Aku tak merasa bahwa aku harus hijrah.
Salah seorang teman sekolahku dulu selalu mengingatkanku untuk belajar mengaji. Namun hatiku belum juga tergerak. Kadang hati kecil ini merasa ingin berubah. Tapi rasa malas membuatku selalu punya alasan.
Sampai akhirnya masalah kedua pun mendatangi rumah tanggaku. Membuatku ingin pergi jauh untuk meninggalkan semuanya. Masalah yang lebih besar ini muncul bersamaan dengan kondisi ibu mertua yang sakit keras. Sehingga mengharuskanku untuk merawat beliau. Aku tak mungkin pergi meninggalkan beliau. Hal ini membuatku sungguh-sungguh hancur. Aku harus bertahan merawat ibu mertua dalam kondisi rumah tanggaku yang sangat tak nyaman.
Alhamdulillah Allah masih memberiku kekuatan. Sambil merawat ibu mertua, tak pernah putus kutambah amalan harianku dengan sholat-sholat sunnah, dzikir, dan sholawat. Namun entah kenapa hati ini merasa seperti ada sesuatu yang kosong.
Sampai kemudian aku diajak ikut belajar mengaji oleh kawan sekolahku di rumah salah seorang guru ngaji beliau.
Aku mulai rutin belajar mengaji. Setiap nasihat berusaha kucerna dengan baik. Perlahan, hatiku mulai tenang, mulai berfikir rasional. Hingga akhirnya perlahan aku sadar bahwa Allah memberikan hidayah lewat berbagai cara. Bahkan kadang dengan perasaan yang harus tersakiti. Aku mulai bisa menerima kenyataan ini dan mulai merasa tenang.
Kini aku paham, inilah bukti bahwa Allah sangat mencintaiku. Lewat ujian dari-Nya, Ia berharap aku mendekat pada-Nya.
Inilah hijrahku. Semoga aku istiqamah dalam iman Islam yang semakin baik. Aamiin, ya Allah….