قُلْ إِنَّمَآ أَعِظُكُم بِوَٰحِدَةٍ ۖ أَن تَقُومُوا۟ لِلَّهِ مَثْنَىٰ وَفُرَٰدَىٰ ثُمَّ تَتَفَكَّرُوا۟ ۚ مَا بِصَاحِبِكُم مِّن جِنَّةٍ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا نَذِيرٌ لَّكُم بَيْنَ يَدَىْ عَذَابٍ شَدِيدٍ
Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras. Tafsir Quran Surat Saba Ayat 46
“Dengarkan! Wahai mubaligh, bisikan Ilahi ini kepada pembawa da’wah yang mendekatkan diri kepadaNya. Dengarkan bagaimana Rabbul masyariq wal magharib tempat dia menopangkan diri, menyertainya dari dekat, dalam suka dan dukanya dalam menjalankan tuas”, begitulah Pak Natsir mengantarkan ayat ini dalam Kitab Fiqh Dakwah.
Dalam dakwah, adakalanya muncul afaat (penghalang) pada situasi yang tiba tiba. Saat memulai justru pengajalang itu tiba, menjadi beban yang berat untuk bergerak. Ada beban dipikiran tentang telepon orang tua yang meminta pulang dari tempat tugas. Adakalanya bisikan antara mengambil keputusan menikah atau melanjutkan studi. Bahkan, antara dakwah atau melakukan kegiatan dunia yang jauh , bahkan kehilangan waktu luang untuk bersama dalam dakwah.
Padahal, harapan masyarakat terhadap juru dakwah sangat dinantikan. Atau kondisi kerusakan sedang berlangsung dihadapan mata. Saat sedang kondisi demikian, bisikan itu datang kembali, “biarkan dakwah diurus oleh ahlinya, atau yang lainya. Saya mau urus urusan pribadi dan keluarga saja. Toh, dakwah tanpa saya pun, sudah jalan”. Begitulah godaan itu, datang dan pergi menyusup dalam sanubari.
Agar mundur teratur rapi, maka kemudian membuat berbagai alasan. Orang tua dikampung dibawa bawa, anak istri dan bahkan kesehatan dipaparkan sebagai alasan, agar tugas dakwah bisa dinego. Ya memang, alasan akan bisa kita jadikan sebab bolehnya sesuatu itu diambil. Apalagi kaidah ushul menyebutkan, “Asal segala sesuatu itu adalah dibolehkan”.
Sakit, berobat, menikah, mencari nafkah, adalah illat (alasan) dibolehkanya melakukan pengambilan keputusan. Begitulah syariah Islam ini mengatur dan memposisikan manusia sebagai makhluk yang bisa memilih. Tapi ingatlah, sesungguhnya dakwah bukanlah suatu pilihan, dalam makna bisa ditinggalkan dan tak mengambil bagian.
Jika kita kuat melakukan dakwah dengan sendirian, karena ilmu, harta, waktu kita cukup, tentu sangat bahagia kita melakukannya. Tapi jika sendirin berat, kita berdakwah bisa dengan orang lain, berdua atau berjamaah. Agar naik dan turunya semangat bisa saling ditopang. Kawan berdakwah adalah sahabat sejatinya kita. Siap membantu san meringankan jalan dakwah.
Dalam tafsir Min Fathil Qadir karya Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar menjelaskan ayat diatas, “Wahai Nabi, katakanlah kepada kaummu: “Sesungguhnya aku menasehati kalian secara ramah dengan satu ikat rambut yaitu agar kalian berusaha dengan ikhlas dalam mencari kebenaran. Berdua secara bersama-sama atau satu-satu secara sendiri-sendiri. Hal itu membuatku dipanggil karena memiliki pemikiran yang benar. Lalu pikirkanlah tentang sahabat kalian, Muhammad yang sudah lama kalian kenal sebagai orang yang dapat dipercaya dan berakal. Dia tidak gila saat mengajak kalian untuk mengesakan Allah” Maknanya jika kalian mau berpikir bahwa dia tidak gila maka dia tidak lain hanya memperingatkan kalian tentang akibat kemaksiatan sebelum datangnya azab yang dahsyat di akhirat”.
Jika sendirian dalam dakwah terasa berat, berdualah, cari kawan untuk diajak diskusi dan membangun kekuatan. Jangan biarkn bisikan yang melemahkan hadir, sementara kita tak pernah terbuka dengan kawan seiring. Kawan itu memberikan petunjuk, maka carilah kawan yang sholeh. Kawan dakwah yang seperti penjula minyak wangi, jangan kawan yang mudah membakar dan melemahkan.