وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” Tafsir Quran Surat Fussilat Ayat 33
Soal kerjaan setiap orang bisa memilih. Soal tugas juga demikian, setiap kita dapat menyiapkan diri. Yang kuat bawa yang berat, yang kurus bawa yang ringan. Yang berduit ambil bagian terbesar, yang lago ‘tongpes’ setor tenaga dan doa. Yang jelas, semuanya bisa dipilih, sesuai dengan kondisinya.
Tapi tidak untuk yang satu ini, “Juru Da’wah”, profesi spesial pilihan Allah. Allah sendiri yang menyatakan, dan juga memberikan peringkatnya. Mafhum mukhalafahnya, “Apa ada yang lebih baik perkataanya dibanding juru da’wah?”. Tak perlu dijawab, menurut saran saya. Tinggal dibuktikan dilapangan, masing masing saja. Tak usah menuntut yang pakai peci.
Mengapa? Masing masing kita perlu membuktikan, bahwa maksud ayat itu adalah pribadi kita, Bukan orang lain. Siapa yang tak ingin masuk dalam kelompok orang yang memiliki perkataan yang paling baik. Karena bercerita, bertutur kata, bicara, pidato, menasehati sejatinya adalah kata kata. Belum lagi jika kita ingat, “Syakaratul mautpun, perlu kata kata penutupnya”. Semoga penutup kita adalah kata yang paling baik, berupa susunan kata yang ringan tapi berat ditimbangan amal, “Tiada illah kecuali Allah”.
Kalimat tauhid inilah yang menjadi tugas juru dakwah, sehingga mereka diposisikan sebaik baik orang dalam berkata. Kata yang sama, disuarakan oleh para Nabi dan Rasul. Kata yang telah membentuk dan merubah peradaban jahiliyah menjadi Islamiyah. Kata yang telah menyadarkan para peminum khamr, penggemar judi, pemuja syahwat zina, dan semua yang merusak.
Kata inilah, yang juga membawa Thoriq bin Ziyad menembus Eropa, membawa Ibn Batutah menulis sejarah perjalanan dakwahnya sampai ke bumi nusantara. Membawa kita, para juru dakwah menembus belantara negeri, menaklukkan sungai dan lautan. Menancapkan warisan mulia dihati masyarakat. Yang bermusuhan, berubah sifatnya saling mengasihi.
Kata yang membuat orang tua kita, para juru dakwah “ikhlas melepas anak anaknya menuntut ilmu, dan mengikuti jejak para juru dakwah”. Berpisah sscara fisik, tapi bertemu dalam janji Allah. Pahala dan kebahagiaan, seperti berpisahnya Yusuf dan Ya’kub. Seperti Ismail anak muda pemberani dengan Ibrahim yang penuh kesabaran. Seperti juga Anda Para Dai dengan Ibu-Ayah dikampung halaman. Sebagianya, malah tak bersama untuk sementara dengan pasangan hidupnya, katena medan dakwah yang berat.
Sebagiannya lagi, sedang menunggu tambatan hati belahan jiwa di kampung tempat bertugas ataupun dikampung asalnya. Indah, jika kata tauhid tersebut, akhirnya menjadi dasar pertemuan antar anak adam dalam ikatan janji suci. Seperti satu kata yang telah menyatukan Aus dan Khazraj, Muhajirin dan Anshor. Kalimat tauhid inilah yang telah mengubah posisi seseorang memiliki sebaik-baik perkataan.
Dalam kitab An-Nafahat Al-Makkiyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi mencatat, “Yakni tidak ada yang paling baik ucapannya, jalannya dan keadaannya. Yaitu dengan mengajarkan orang-orang yang tidak tahu, menasihati orang-orang yang lalai dan berpaling serta membantah orang-orang yang batil, yaitu dengan memerintahkan manusia beribadah kepada Allah dengan semua bentuknya, mendorong melakukannya, menghias semampunya, melarang apa yang dilarang Allah, memperburuk larangan itu dengan segala cara agar manusia menjauhinya. Terutama sekali dalam hal ini (dakwah) adalah mengajak manusia masuk Islam, agar mereka mengikrarkan Laailaahaillallah, menghiasnya, membantah musuh-musuhnya dengan cara yang baik, melarang hal yang berlawanan dengannya berupa kekafiran dan kemusyrikan, serta melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Termasuk dakwah ilallah adalah membuat manusia mencintai Allah dengan menyebutkan lebih rinci nikmat-nikmat-Nya, luasnya kepemurahan-Nya, sempurnanya rahmat-Nya, serta menyebutkan sifat-sifat sempurna-Nya dan sifat-sifat keagungan-Nya. Termasuk dakwah ilallah juga adalah mendorong manusia mengambil ilmu dan petunjuk dari kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Termasuk pula mendorong manusia mengamalkan akhlak Islam seperti berakhlak mulia, berbuat ihsan kepada manusia, membalas keburukan dengan kebaikan, menyambung tali silaturrahmi dan berbakti kepada kedua orang tua. Termasuk pula memberi nasihat kepada manusia pada musim-musim tertentu di mana mereka berkumpul pada musim-musim itu dengan dakwah yang sesuai dengan kondisi ketika itu dan lain sebagainya yang isinya mengajak kepada semua kebaikan serta menakut-nakuti terhadap semua keburukan.
Termasuk dakwah ilallah pula adalah mengumandangkan azan, karena di dalamnya terdapat seruan mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah. Di samping ia mengajak manusia kepada Allah, dia juga segera mengerjakan perintah Allah dengan beramal saleh, amal yang membuat Allah ridha. Yakni termasuk orang-orang yang tunduk kepada perintah-Nya dan menempuh jalan-Nya. Tingkatan dakwah ini sempurnanya adalah bagi para shiddiqin, dimana mereka mengerjakan sesuatu yang menyempurnakan diri mereka dan menyempurnakan orang lain; mereka memperoleh warisan yang sempurna dari para rasul. Sebaliknya, orang yang paling buruk ucapannya adalah orang yang menjadi penyeru kepada kesesatan dan menempuh jalannya. Antara kedua orang ini sungguh berjauhan tingkatannya, yang satu yang menyeru kepada Allah berada di tingkatan yang tinggi, sedangkan yang satu lagi yang menyeru kepada kesesatan berada di tingkatan yang bawah. Antara keduanya terdapat tingkatan-tingkatan yang tidak diketahui kecuali oleh Allah dan semua tingkatan itu dipenuhi oleh makhluk yang sesuai dengan keadaannya sebagaimana firman-Nya, “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Terj. Al An’aam: 132).
Semoga kita masuk dalam kelompok yang dimaksudkan oleh ayat diatas. Mulailah, yang paling mungkin dahulu, agar pijakan menjadi semakin kuat.