اِقْرَأْ كِتَابَكَ ۗ كَفٰى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيْبًا ۗ ﴿الإسراء : ۱۴﴾
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu.” (QS. Al-Isra’: 14)
Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir karya Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, memberikan catatan penting terhadap ayat diatas,
1 ). Setelah peristiwa kematian menghampiri setiap manusia, akan ada masa perhitungan yang ketat dari setiap amalan yang telah kita kerjakan ketika di dunia, ketahuilah bahwa semuanya telah disiapkan dalam kitab amalan setiap orang tanpa menyisakan sedikitpun baik yang kecil maupun besar, namun manusia melupakan apa yang telah mereka perbuat. kitab ini akan mengejutkan setiap hamba pada hari kiamat, lalu diletakan dihadapannya dan dkatakan kepadanya.
2 ). Hidup seseorang setelah kematianya bagaikan sebuah buku yang akan dibaca oleh orang banyak maka perbaikilah tulisanmu yang ada di dalamnya, jangan pernah menyangka bahwa sampul buku itu akan memberi manfaat tetapi isinya hanya berisi keburukan; karena besok akan dikatakan kepadamu.
Mengambil manfaat ayat diatas, seorang dai atau juru dakwah memiliki peran sebagai pribadi yang ingin ikut serta memperbaiki suatu kondisi ke kondisi yang lebih. Perbaikan kondisi mengacu pada situasi, keadaan, perilaku yang amat dekat dengan seseorang. Pun juga, perbaikan pemahaman (paradigma berfikir) yang dapat mengubah berbagai hal.
Sebagai seorang juru dakwah, melakukan perbaikan program atau agenda kegiatan yang menyangkut perubahan masyarakat harus menajdi prioritas. Perubahan ke arah yang lebih baik inilah, yang harus di “genjot” sebagai tahapan tahapan dakwah. Hal ini, juga menyangkut kekuatan dan potensi yang dimiliki setiap orang, bahwa kemampuan untuk berubah perlu proses. Satu tahap perbaikan, disambung oleh tahap perbaikan selanjutnya. Mungkin juga, satu tahap perbaikan yang telah dilakukan, perlu diulang kembali agar terbiasa.
Selain itu, perbaikan diri (pribadi) sang juru dakwah, jauh lebih penting, karena kedudukan dan posisinya sebagai play maker perubahan. Sang dai harus terhubung dan terkoneksi dengan banyak guru sebagai tempat menuntut ilmu. Tentu model pembelajaran bisa menyesuaikan dengan keadaan. Juru dakwah tak boleh berhenti belajar, apalagi membaca ilmu qauliyah dan juga ilmu kauniyah.
Kondisi umat dengan berbagai fenome yang ada, sejatinya adalah gambaran dari kualitas sang juru dakwah sendiri. Kita harus berani membuat satu langkah penilaian, bahwa keadaan umat yang ada hari ini, sejatinya adalah gambaran kita, wahai juru dakwah. Kita itu, ya Saya juga! Masuk dalam definisi juru dakwah.
Ternyata, apa yang disuarakan lewat mimbar Jum’at, pengajian dan juga pertemuan-pertemuan yang lain, belum begitu menggemberikan. Sebabnya, boleh jadi kerna kualitas kita. Kualitas ilmu dan amal yang masih perlu diperbaiki juga. Kita seringkali malah seibuk menilai kejelekan orang lain, dibanding usaha bagaimana memperbaiki diri.
Mengapa para Sahabat Nabi menjadi pribadi yang hebat, karena gurunya hebat. Trus, apa kita harus kembali dan bermimpi ke zaman Nabi, hanya mengenang dan membanggakan mereka yang telah berbuat. Tidak! Kita perlu melihat, bagaimana para sahabat berusaha melakukan perbaikan. Mereka juga mengalami kesusahan dalam hal tersebut, tapi karena kuatnya keinginan, mereka mampu melakukanya. Bahkan melewati ekspektasi manusia pada umumnya.
Mereka, para sahabat Nabi itu, teringat alam akhirat ssbagai tempat menikmati hasil perbaikan. Para juru dakwah juga perlu bermuhasabah, melakukan koreksi diri bahwa apa dilakukan dalam dakwah juga akan tercatat dalam buku akhirat. Jadi catatan dakwah tetap akan diabadikan sampai akhirat. Maka tak usah peduli tanggapan orang lain terhadap dakwah kita, kecuali komentar itu diarahkan untuk memberbaiki isi/konten dakwah, cara dakwah, metode dakwah, media dakwah dan hal-hal lain yang ada dalam rukun dakwah.
Muhasabah, koreksi diri adalah standar utama kita memilih menekuni dunia dakwah. Sering-seringlah melakukannya, katena setan juga sering menggelincirkan usaha juru dakwah. Dengan muhasabah, selain niat akan tertata terus, bahwa dakwah ini adalah suatu wujud penghambaan kepada Allah, ia juga akan menjaga semangat dakwah agar tidak futur (berguguran di jalan dakawah).
Baca ulang apa yang akan dilakukan, baca pula yang sedang dan yang telah dilakukan. Sebagai bahan renungan dan kajian ilmiah untuk proses perbaikan. Jangan menunggu lama, saat istirahat dan rehat sejenak. Agar tidak lupa dan dimakan kesombongan diri. Agar tak ada kata ” Inilah hasil kerja Saya, coba kalo Saya tidak melakukan”. Kita memang perlu dan boleh mengingat apa yang kita lakukan, tapi kita sejatinya hanya bagian kecil dari proses terjadinya.
Allah-lah yang sebenarnya melakukan. “Kalian melakukan makar, dan Allah juga melakukanNya. Makar Allah adalah yang paling baik”. Begitulah instropeksi diri ini kita lakukan. Semoga Allah menerima amal ibadah kita sekarang dan yang akan datang. Ampunilah diriku ya Allah.