Dua kalimat syahadat –asyhadu an la ilaha illa-Llah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah -memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam karena:
Pertama, ia adalah madkhalun ilal Islam (pintu gerbang masuk ke dalam Islam).
Syahadatain adalah pilar Islam yang pertama. Oleh karena itu, syarat utama bagi seorang non muslim yang akan masuk Islam adalah mengucapkan syahadatain; mengakui bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah Ta’ala, serta mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah utusan-Nya yang diberi amanah untuk menyampaikan risalah kepada seluruh umat manusia.
Hal ini kita ketahui dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima (pilar): Syahadat Laa ilaaha illa Allah dan (syahadat) Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, hajji, dan puasa Ramadhan”. (HR Bukhari, no. 8).
Juga dari hadits yang menyebutkan arahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Muadz bin Jabal yang akan pergi melaksanakan tugas dakwah ke Yaman,
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ طَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ طَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ طَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“Engkau akan mendatangi kaum ahli kitab; apabila engkau telah sampai kepada mereka maka serulah mereka untuk bersaksi bahwa tidak Tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Jika mereka ta’at untuk itu, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka ta’at untuk itu, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat harta mereka, di ambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang yang miskin dari mereka. Jika mereka taat untuk itu, maka hati-hatilah engkau dari mengambil harta milik mereka yang paling baik, takutlah engkau dengan do`anya orang dizhalimi, sebab antara ia dengan Allah tidak ada yang menghalanginya.” (HR. Bukhari)
*****
Mengapa mengucapkan dua kalimat syahadat ini sangat penting bagi seorang non muslim yang akan masuk Islam? Berikut penjelasannya secara ringkas:
Perlu dipahami bahwa untuk menjadi seorang muslim, seorang manusia harus benar-benar menjaga keimanannya agar sesuai dengan tuntutan fitrah yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala, yaitu mengimani rububiyyah-Nya—mengakui Allah Ta’ala sebagai Rabb, Tuhan Yang Menciptakan, Memiliki, Memberi Rizki, dan Mengatur segala urusan.[1]
Konsekuensi dari pengakuan terhadap ar-rububiyyah ini adalah pengakuan terhadap al-uluhiyyah Allah Ta’ala, yakni mengakui dan melakukan peribadahan hanya kepada-Nya, serta mengakui pula Ar-risalah (ajaran) yang diturunkan kepada rasul-Nya.
Dengan kata lain, untuk menjadi muslim, seorang manusia harus mengakui ar-rububiyyah, al-uluhiyyah, dan ar-risalah tanpa terpisahkan. Sedangkan non muslim, mereka hanya mengakui rububiyyah Allah Ta’ala dan tidak mengakui uluhiyyah serta risalah-Nya.
Pemisahan antara pengakuan terhadap rububiyyah Allah Ta’ala dengan pengakuan terhadap uluhiyyah Allah Ta’ala ini dikecam dan tidak diridhai oleh-Nya. Perhatikanlah firman-Nya berikut ini,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).” (QS. Al-Ankabut, 29: 61)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. Al-Ankabut, 29: 63)
قُلْ لِمَنِ الأرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَذَكَّرُونَ قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), Maka dari jalan manakah kamu ditipu?”(QS. Al-Mu’minun, 23: 84-89).
Melalui ayat-ayat di atas, Allah Ta’ala mengecam sikap non muslim yang mengakui Allah Ta’ala sebagai Pencipta dan Pemilik langit dan bumi serta Pengatur matahari dan bulan, menurunkan hujan, tapi enggan menjadikan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi.
Allah Ta’ala juga mengecam orang-orang yang mengakui al-uluhiyyah dan ar-rububiyyah, namun tidak mengakui ar-risalah. Sebagai contoh adalah orang-orang Yahudi yang mengakui ketauhidan- meliputi uluhiyyah dan rububiyyah-Nya -namun tidak mau mengakui risalah-Nya yang terakhir, yakni risalah dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah (Muhammad): ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran, 3: 31)
Jadi, selain mengakui Allah Ta’ala sebagai Pencipta, Pemilik, Pemberi rizki, dan Pengatur segala urusan, seorang manusia pun harus mengakui Allah Ta’ala sebagai satu-satunya ilah (sesembahan) yang hak dan mengakui kerasulan/risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kesimpulannya, seorang non muslim yang kembali kepada Islam tidak akan diakui sah keislamannya jika tidak mengikrarkan dua kalimat syahadat, yakni pengakuan Allah sebagai Ilah (syahadah uluhiyyah) dan pengakuan Muhammad sebagai pembawa risalah Allah (syahadah risalah).
*****
Kedua, syahadatain penting karena ia adalah khulashatu ta’alimil Islam (intisari ajaran Islam).
Intisari ajaran Islam mencakup dua hal: (1) Ajaran al-ibadatu lillah (ibadah kepada Allah) baik secara fardiyyan (individu) maupun jama’iyyan (kolektif).[2] Ajaran ini terkandung dalam kalimat syahadat: La Ilaha Illa-Llah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’”. (QS. Al-Anbiya, 21: 25)
(2) Ajaran agar al-ibadah yang dilakukan itu disesuaikan dengan manhajullah (ketentuan syariat Allah),
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah, 45: 18)
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan syariat (aturan) dan minhaj (jalan yang terang).” (QS. Al-Maidah, 5: 48)
Mengamalkan manhajullah tersebut dilakukan dengan cara mengikuti qudwatur rasul (contoh teladan rasul). Ajaran ini terkandung dalam kalimat syahadat: Muhammadur Rasulullah.
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran, 3: 31)
Ketiga, syahadatain itu penting karena ia adalah asasul inqilab (fondasi perubahan), fardiyyan (individu) maupun ijtima’iyyah (kemasyarakatan).
Lihatlah apa yang terjadi kepada bangsa Arab di masa lalu. Sebelum kedatangan Islam, mereka berada dalam kondisi jahiliyyah, yakni tidak memiliki ma’rifah (pengetahuan) tentang agama yang benar. Mereka tidak mengenal Sang Pencipta; tidak mengetahui bagaimana mengabdi kepada-Nya, dan tidak terbimbing dengan pola kehidupan yang teratur yang diridhai oleh-Nya.
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِي
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al-Qur’an dengan perintah Kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al kitab (Al–Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami, dan sesungguhnya Kami benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura, 42: 52)
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat untukmu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”( QS. Al-Baqarah, 2: 151)
Berawal dari kesadaran terhadap makna syahadatain, bangsa Arab kemudian berubah menjadi bangsa yang mulia -menjadi khairu ummah-. Mereka menjadi pribadi-pribadi yang sadar akan eksistensi dirinya sebagai hamba-hamba Allah yang mengemban misi agung dalam kehidupannya.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran, 3: 110)
Mereka menjadi pemegang kendali peradaban karena spirit La Ilaha Illa-Llah Muhammadur rasulullah senantiasa berkobar di dalam dada-dada mereka. Mereka menyeru seluruh umat manusia agar menghambakan diri kepada Allah Ta’ala dan menjalankan syariat-Nya seperti diajarkan oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keempat, syahadatain penting karena ia adalah haqiqatu da’watir rasuli shallallahu ‘alaihi wa sallam (hakikat dakwah Rasulullah).
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Katakanlah: ‘Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk’”. (QS. Al-A’raf, 7: 158)
Bahkan syahadat La Ilaha Illa-Llah pun adalah merupakan hakikat dakwah para rasul terdahulu sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’” (QS. An-Nahl, 16: 36)
Juga firman-Nya,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’” (QS. Al-Anbiyaa: 25)
Secara rinci Al-Qur’an menjelaskan pula bahwa ajakan kepada kalimat La Ilaha Illa-Llah inilah yang diserukan Nabi Nuh (lihat: QS. Al-A’raf, 7: 59), Nabi Hud (lihat: QS. Al-A’raf, 7: 65), Nabi Shalih (lihat: QS. Al-A’raf, 7: 73), Nabi Syu’aib (lihat: QS. Al-A’raf, 7: 85), dan lain-lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang hakikat dakwah yang diembannya,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu, terperihalah darah dan harta benda mereka kecuali dengan haknya sedangkan hisab mereka kepada Allah.” (Bukhari Muslim).
Yang dimaksud dengan kalimat: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia..” disini adalah perintah memerangi para penyembah berhala. (Lihat: Terjemah Syarah Arbain Nawawiyah, Dr Musthafa Al-Buqha, Rabbani Press hal. 67).
Syaikh Ismail Al-Anshari menjelaskan: “Makna ‘manusia’ (dalam hadits ini, red.) yaitu kaum musyrikin selain ahli kitab, sesuai riwayat Imam An Nasa’i, “Aku diperintah untuk memerangi kaum musyrikin sampai mereka bersaksi tiada Ilah selain Allah,” riwayat ini menjelaskan makna kalimat ini.” (Tuhfah Rabbaniyah, syarah No. 8)
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah mengatakan: “Al-Khathabi dan lainnya mengatakan: maksudnya adalah para penyembah berhala dan kaum musyrikin Arab dan orang yang tidak beriman kepada Allah selain Ahli Kitab dan yang mengikrarkan tauhid.” (Syarah Al-Arbain An-Nawawiyah, Hal. 54, Maktabah Al-Misykah)
Kelima, syahadatain penting karena ia mengandung fadhailun ‘adzimah (keutamaan yang agung).
Siapa saja yang beriman kepada kalimat syahadat, maka ia akan memperoleh kebaikan yang besar. Ali Juraisyah menyatakan bahwa dengan mengucapkan kalimat syahadat seseorang akan mendapatkan dua keuntungan: keuntungan duniawi dan keuntungan ukhrawi.
Keuntungan di dunia adalah ia diakui sebagai seorang muslim, sehingga darah dan hartanya terlindungi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari dalam point keempat di atas.
Sepatah kalimat (syahadatain) saja sudah cukup untuk melindungi darah dan harta seseorang, dan sekaligus memasukkannya ke dalam Islam. Kita tidak diperintahkan untuk membedah dada seseorang untuk mengetahui isi hatinya,
إِنِّي لَمْ أُومَرْ أَنْ أَنْقُبَ عَنْ قُلُوبِ النَّاسِ وَلَا أَشُقَّ بُطُونَهُمْ
“Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk memeriksa isi hati manusia dan membelah perut mereka” (HR Al-Bukhari)
Oleh karena itu, Nabi pernah menegur Usamah bin Zaid dengan keras karena telah membunuh seseorang dalam peperangan, padahal orang tersebut telah mengucapkan Laa ilaaha illallah.
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ وَهَذَا حَدِيثُ ابْنِ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ فَصَبَّحْنَا الْحُرَقَاتِ مِنْ جُهَيْنَةَ فَأَدْرَكْتُ رَجُلًا فَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَطَعَنْتُهُ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي مِنْ ذَلِكَ فَذَكَرْتُهُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَقَتَلْتَهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنْ السِّلَاحِ قَالَ أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ
Dari Usamah bin Zaid ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami bersama pasukan kecil maka kami pun menyerang beberapa dusun dari qobilah Juhainah, maka Aku pun berhadapan dengan seseorang, dia mengucapkan la ilaha illallah, namun Aku tetap menikamnya. Namun setelah itu Aku merasa tidak enak akan hal itu maka akupun menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Apakah ia mengucapkan la ilha illallah lantas engkau tetap membunuhnya?’. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, dia mengucapkannya hanya karena takut pedangku!’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Mengapa engkau tidak membelah hatinya hingga engkau tahu bahwa dia mengucapkannya karena takut atau tidak!?’. Berkata Usamah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulang-ulang perkataannya kepadaku itu hingga aku berangan-angan seandainya aku baru masuk Islam saat itu” (HR Muslim 1/96)
Sedangkan keuntungan ukhrawinya ialah bahwa seseorang yang mengucapkan kalimat syahadat akan dikeluarkan dari neraka, asalkan ucapannya itu didukung oleh keimanan meskipun hanya sebesar debu. Artinya, dengan syahadat ia akan terselamatkan dari mendekam selama-lamanya di dalam neraka. Hal ini ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ
“Keluar dari neraka orang yang mengucapkan la ilaha illallah dan di hatinya ada seberat rambut kebaikan. Keluar dari neraka orang yang mengucapkan la ilaha illallah sedang di hatinya ada seberat gandum kebaikan. Dan keluar dari neraka orang yang mengatakan la ilaha illallah sedang di hatinya ada seberat zarrah kebaikan.” (H.R. Bukhari).
Hadits dari Zaid Ibn Arqam menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
” مَنْ قَالَ : لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ مُخْلِصًا دَخَلَ الْجَنَّةَ ” ، قِيلَ : وَمَا إِخْلَاصُهَا ؟ قَالَ : ” أَنْ تَحْجُزَهُ عَنْ مَحَارِمِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ “
“Barangsiapa mengucapkan La Ilaha Illa-Llah dengan ikhlas, akan dimasukkan ke dalam surga.” Rasulullah ditanya:“Bagaimana mengikhlaskannya itu?” Rasulullah menjawab: “Dengan menjauh dari apa yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla.” (HR. Thabrani)
Dari uraian singkat di atas jelaslah bagi kita bahwa syahadatain itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam. Wallahu a’lam.
CATATAN KAKI:
[1] Dalam buku Hakikat Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan, Yusuf Qaradhawi menyebutkan pengertian Rabb adalah: Pencipta, Pemilik, Pemberi rizki, dan Pengatur segala urusan.
[2] Syaikh Abdullah Azzam dalam salah satu ceramahnya menyatakan bahwa ibadah kepada Allah mempunyai dua sisi: pertama, ibadah fardhiyah (yang bersifat individu), kedua, ibadah jama’iyyah (yang bersifat kolektif). Contoh ibadah fardhiyah: shalat, zakat, dan puasa. Sedangkan contoh ibadah jamaiyyah: Jihad, menegakkan hukum-hukum had, memberantas riba, melarang pornografi, dll (lihat: Hidmul Khilafah wa Bina-uha [Terjemahan:Runtuhnya Khilafah & Upaya menegakkannya, Pustaka Al-Alaq: Solo)