Hari ini adalah waktunya pembelajaran secara luring di PAUD DEWAN DA’WAH LAMPUNG. Seperti biasa, keluar rumah pukul 6.30 WIB. Tak sempat sarapan. Tapi beberapa potong bakwan telah tersusun rapi di kotak bekalku. Bisa sebagai pengganjal lapar pagi ini. Aktivitas yang kurindukan di hari itu pun dimulai.
Hingga menjelang akhir jam belajar, ternyata aku harus galau….
*
“Bunda, aku boleh minta bakwannya?”, tanya Defan padaku.
“Boleh. Trimakasih, Defan. Karena Defan sudah mau membaca buku hari ini”, jawabku sambil membuka kotak bekal dan menyodorkannya pada Defan.
“Bunda, aku juga mau….”, rengek Jojo saat melihat Defan menikmati sepotong bakwan.
“Boleh, tapi Jojo mbaca bukunya dulu sama Bunda, yuk….”, ujarku untuk yang kesekian kalinya mengingatkan konsekuensi bahwa yang diberi bakwan adalah yang sudah membaca bukunya.
Jojo masih merengek berharap sepotong bakwan akan diperolehnya tanpa harus membaca buku bacaan yang setiap hari harus dibacanya.
Usia mereka yang 5 tahun sebenarnya masih belum dituntut untuk belajar membaca. Namun tanpa ada peraturan tertulis, terlalu sering murid kelas 1 SD dituntut untuk bisa membaca.
Akhirnya, murid-murid PAUD pun mulai dijejali rutinitas membaca di sela-sela waktu bermainnya. Demi mengejar target.
Apalagi di masa pandemie ini, lama belajar di sekolah setiap harinya dibatasi, hanya 1 jam. Itupun harus disiasati agar anak-anak itu bisa belajar langsung dengan gurunya. Karena kebanyakan orang tua merasa tak mudah jika harus mendampingi anak-anaknya belajar secara daring di rumah setiap harinya.
“Bundaaa….”, rengek Jojo dengan mimik berharap sambil memperhatikan detik-detik terakhir bakwan di tangan Defan.
“Kan Bunda tadi sudah bilang, yang mau bakwan harus mau mbaca dulu…”, jawabku sambil segera memalingkan wajah ke hal lain.
Ada rasa galau di hatiku saat melihat wajah Jojo. Ia tampak begitu menginginkan bakwan itu. Namun ia tahu, ada satu syarat yang tak mau ia lakukan demi sepotong bakwan itu.
Waktu pun habis. Sudah saatnya pulang. Doa kafaratul majlis pun dilantunkan bersama. Kutambahi dengan “Bakwannya masih ada. Yang masih mau, boleh mbaca dulu…”. Aku masih berharap Jojo mau membaca bukunya di akhir waktu ini.
Tapi tidak…. Dengan riang, ia langsung memakai ranselnya dan mengucap salam menuju keluar. Aku pun menjawab salamnya dengan perasaan tak jelas. Benarkah yang telah aku lakukan?
Hanya untuk mempertahankan agar anak mau membaca, tak kuberikan ia sepotong bakwan yang diinginkannya. Hanya sepotong bakwan. Tidak lebih.
Jojo pulang dengan riang tanpa bakwan di tangannya. Tinggal aku yang berdiri menatap dengan perasaan galau. Haruskah kuberikan sepotong bakwan ini untuknya ataukah aku harus bertahan dengan tawaranku tadi…?
Tapi terlambat. Jojo sudah keluar dari pekarangan sekolah dan aku masih disibuki dengan kegalauanku. Di satu sisi aku berpikir, apalah arti sepotong bakwan? Mengapa harus ditahan-tahan? Berikan saja pada anak usia 5 tahun itu yang mungkin belum bisa memahami makna konsekuensi sepenuhnya.
Namun di sisi hatiku yang lain, aku berpikir bahwa kita harus mengajarkan bagaimana taat azas itu sejak dini.
Bagiku, masalah sebenarnya belum selesai. Walaupun kejadiannya sudah usai.
Aku hanya berharap, semoga apa yang kumaksud bisa dipahami oleh hati yang polos milik anak didikku. Bukan hanya Jojo, tapi juga anak lain yang melihat kejadian tadi.
“Bunda bukan tak sayang Jojo, Nak. Tapi ada pesan yang harus Bunda sampaikan untuk kalian….”, batinku menutup kegalauanku.