Menyambut peringatan 77 tahun Kemerdekaan RI, pada 16 Agustus 2022, saya menyampaikan Pidato Tasyakkur Kemerdekaan. Acara yang digelar secara online itu berlangsung cukup semarak, dihadiri oleh lebih dari 500 peserta.
Mengapa kita patut bersyukur atas nikmat kemerdekaan yang diberikan oleh Allah SWT? Jawabnya, kemerdekaan Indonesia adalah cita-cita dan perjuangan para ulama Islam selama beratus tahun dalam mengusir penjajah dari bumi Nusantara.
Sekadar sejumlah contoh. Pada abad ke-17, tampil ulama besar, Syekh Yusuf al-Maqassari (1037-1111 H/1626-1699M) dalam perjuangan mengusir penjajah. Syekh Yusuf bukan hanya mengajar dan menulis kitab-kitab keagamaan, tetapi juga memimpin pasukan melawan penjajah Belanda. Ia bahkan pergi ke Jawa untuk melanjutkan perjuangannya. Tahun 1683, setelah tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf memimpin kurang lebih 4000 pasukan di hampir seluruh wilayah Jawa Barat.
Pada abad ke-18, tampil pula ulama besar dari Palembang, bernama Syekh Abd al-Shamad al-Falimbani (1704-1789). Ia dikenal sebagai ulama paling terkemuka dari wilayah Palembang. Meskipun menetap Mekkah, Syekh Abd al-Shamad memiliki kepedulian yang kuat terhadap kondisi Nusantara dan mendorong kaum Muslim untuk melaksanakan jihad melawan penjajah. Sebuah kitab berbahasa Arab tentang keutamaan jihad fi-sabilillah ditulisnya dengan judul, Nashihah al-Muslim wa-Tadzkirah al-mu’minin fi-Fadhail al-Jihad fi-Sabilillah wa-Karamah al-Mujahidin fi-Sabilillah. Kitab ini sangat berpengaruh dalam menggelorakan semangat perlawanan melawan penjajah.
Abad ke-19, tampil pemimpin besar dalam melawan penjajah, yaitu Pangeran Diponegoro, yang dibantu Kyai Mojo dan banyak ulama lain. Perang Diponegoro merupakan Perang terbesar di Pulau Jawa dalam melawan penjajah. Di zaman Presiden Soekarno, pernah diadakan acara Peringatan 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, di Istana Negara, pada tanggal 8 Januari 1955.
Ketika itu, Presiden Soekarno menyampaikan pidato yang menyatakan: “Diponegoro adalah satu figur yang besar, satu ulama yang linuhung, satu orang yang takut kepada Allah s.w.t., orang yang beragama Islam, yang cinta pada agama Islam itu, dan tidak berhenti-henti dia mengemukakan bahwa salah satu tujuan beliau, agungnya agama Islam ini. (Lihat buku Pahlawan Diponegoro terbitan Kementerian Penerangan RI, tahun 1955).
Pada abad ke-20, tampil pula para ulama dan tokoh Islam yang gigih melakukan perlawanan terhadap penjajah. Politik Etis penjajah yang dimulai pada 1901, dilakukan untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya, melalui pendidikan. Politik Etis ini dihadapi oleh para pejuang Islam dengan cara mendirikan pondok-pondok, sekolah-sekolah, dan gerakan (organisasi) Islam.
HOS Tjokroaminoto adalah pelopor pergerakan nasional yang pada tahun 1916 berhasil menyelenggarakan Kongres Nasional Sarekat Islam di Bandung. Jumlah anggota Sarekat Islam ketika itu sudah mencapai 800 ribu orang, tersebar di berbagai pelosok Nusantara. Tahun 1919, jumlah anggota Sarekat Islam mencapai 2,5 juta orang.
Pada tahun 1916 itulah, Tjokroaminoto sudah menyampaikan secara terbuka perlunya penduduk Hindia Belanda mendapatkan Zelfbestuur (pemerintahan sendiri). Gagasan ini sudah disampaikannya sejak tahun 1912. Maka, tidak dapat dipungkiri, HOS Tjokroaminoto adalah pelopor nasionalisme Indonesia. “Kita mencintai bangsa kita dan dengan ajaran agama kita (Islam), kita berusaha sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa kita,” kata Tjokroaminoto.
Jangan dilupakan, salah satu murid HOS Tjokroaminoto adalah Soekarno. Ayah Soekarno, Raden Sukemi Sasrodiharjo, sengaja menitipkan anaknya kepada Tjokroaminoto. Ketika itu Soekarno berumur 15 tahun. Soekarno menyatakan: “Pak Tjokro adalah idolaku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak, dia menggemblengku. Aku duduk di dekat kakinya dan dia memberikan buku-bukunya kepadaku, dia memberikan miliknya yang berharga kepadaku.” (Kisah Tjokroaminoto, lihat buku: “Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto” karya Aji Dedi Mulawarman).
Jadi, itulah sekilas perjalanan meraih kemerdekaan selama berabad-abad. Para ulama dan tokoh Islam menjadi pelopor perjuangan mengusir penjajah tersebut. Hasilnya, pada 17 Agustus 1945, diproklamasikan kemerdekaan RI.
Maka, 9 orang para pendiri bangsa yang menjadi anggota Panitia Sembilan bentukan Bung Karno merumuskan, bahwa kita merdeka adalah “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur”.
Inilah konsep aqidah Ahlus Sunnah wal-Jamaah, yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Karena itu, umat Islam Indonesia senantiasa mensyukuri nikmat kemerdekaan. Arti bersyukur, maknanya, menggunakan segala nikmat sesuai dengan tuntunan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
Bagaimana pun, kemerdekaan RI tidak bisa dipisahkan dari faktor Islam. Jauh sebelum kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, dengan motivasi Islam, para pemimpin Islam sudah menyerukan kebebasan dan kemandirian. Kongres Sarikat Islam, atau Kongres Nasional Pertama Sarikat Islam itu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah jajahan Hindia Belanda. Gubenur Jenderal van Limburg Stirum menulis laporan kepada Menteri Jajahan PLeyte, yang antara lain mengakui:
“Juga agama Islam menjadi faktor yang penting dalam pergerakan rakyat di masa sekarang. Jelas sekali bahwa di tahun-tahun yang akhir ini, ke-Islaman rakyat lebih menonjol. Dari bebagai-bagai pertanda dapat diambil kesimpulan, bahwa bukan bagian kecil dari rakyat, tidak saja lebih yakin kepada agama itu, tetapi juga karena mereka menyadari, dengan agama itu mereka termasuk golongan yang besar, yang dapat memberi perlindungan terhadap bermacam-macam pengaruh, dan memberi kekuatan kepada golongan itu.” (Lihat, Mr. Mohammad Roem, “Tiga Peristiwa Bersejarah”, (Jakarta: Penerbit Sinar Hudaya, 1972). Jadi, sekali lagi, Kemerdekaan RI adalah hasil perjuangan para ulama dan tokoh Islam. Berjuang merebut kemerdekaan dan mengusir penjajahan adalah kewajiban agama. karena itu, mari kita syukuri kemerdekaan Indonesia yang memang merupakan rahmat dari Allah SWT. Tentu, caranya dengan hal-hal yang diridhai Allah SWT. Merdeka!
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)